Senin, 07 Januari 2013

Makalah Humanisasi Pendidikan



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu keguncangan yang cukup mengerikan dalam perkembangan peradaban bangsa kita. Nilai-nilai fundamental seperti penghargaan atas hak hidup seseorang ternyata sudah tidak lagi dijadikan landasan dalam bertindak oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Rasa kasih saying antara sesame makhluk Illahi diganti dengan kebencian yang dilancarkan oleh berbagi kelompok etnis, pemeluk agama, anggota partai politik, bahkan oleh komunitas yang secara historis terkenal memiliki jiwa gotong royong yang tinggi, yakni masyarakat desa atau kampong. Kesadaran akan harga diri dan empati dihancurkan oleh ledakan emosi yang tidak terkendali.
Kondisi yang sangat menyedihkan tersebut masih ditambah dengan merosotnya moralitas sebagian masyarakat dalam bentuk ketergantungan pada narkotik dan obat terlarang. Norma-norma hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrimnya juga sering dilanggar. Demikian juga nilai-nilai kejujuran, seakan-seakan telah terkubur oleh kobohongan dan tipu daya.
Namun, kita tidak boleh berputus asa dan harus senantiasa berikhtiar untuk mengatasi masalah yang sangat kompleks tersebut. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya, baik secara lahir berupa tindakan-tindakan kuratif dan preventif yang dipandang cukup efektif, maupun secara batin dengan memperbanyak amal shaleh, memohon ampun secara ikhlas, dan memanjatkan doa secara khusyu kehadirat Alloh SWT. Upaya lahir dan batin tidak cukup dilakukan oleh sebagian kecil rakyat Indonesia, tetapi harus oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, diperlukan rekonstruksi pendidikan nilai dan spiritualitas bagi rakyat Indonesia. Karena penanaman nilai secara dini dilakukan dalam keluarga, terutama oleh orang tua, kemudian di sekolah secara formal oleh guru , maka perlu rekonstruksi peran orang tua dan guru.

B.     Tujuan Penulisan
·         Guna mewujudkan bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia
·         Meningkatkan kualitas pendidikaan karakter / pendidikan nilai/ pendidikan moral/ pendidikan akhlak di Indonesia
·         Terbentuknya kehidupan sosial yang ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya dengan tepat untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin serta keselamatan dunia dan akhirat

C.     Rumusan Masalah
·         Bagaimanakah Konsepsi Moralitas Dan Pendidikan Nilai ?
·         Apa pengertian dan penerapan dalam kehidupan tentang Pendidikan Keterampilan Berfikir Kritis Dan Kreatif Serta Kepekaan Sosial ?
·         Bagaimanakan Rekonstruksi Peran Orang Tua Dan Guru Dalam Pendidikan Nilai Dan Spiritualitas ?



BAB 2
PEMBAHASAN
Humanisasi pendidikan dapat mencegah ketidakmanusiaan dalam pendidikan sehingga tercapai moralitas dalam pendidikan yang selama ini diimpikan. Bagaimana konsep pendidikan yang manusiawi sehingga sasaran menjadi manusia yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berkahlak mulia. Dimulai dari memahami moralitas sampai implementasi dalam pengembangan kecerdasan religius, kultural, sosial, emosional, dan intelektual
1.      Konsepsi Moralitas Dan Pendidikan Nilai
A.      Konsepsi Moral
1)        Kepatuhan Pada Hukum Moral
Konsepsi moralitas kepatuhan pada hukum moral mengandung tiga hal penting. Pertama, bidang moralitas berkisar pada tindakan manusia secara suka rela, yaitu tindakan yang merupakan hasil dari keputusan secara sadar. Kedua, tindakan tersebut selaras dengan keyakinan seseorang tentang kewajiban yang harus diemban. Ketiga, kewajiban seseorang, atau apa yang benar dan baik adalah yang tidak menlanggar hukum, dalam arti secara universal diatur oleh alam kehidupan manusia dalam masyarakat. Konsepsi ini ditentang oleh Moore karena dianggap tidak valid. Menururtnya tidak logis, mengapa alasan dalam melakukan sesuatu hanya menunjukkan bahwa memang seharusnya begitu.
2)        Konformitas Pada Aturan Sosial
Konsepsi moralitas yang kedua berfokus pada cara manusia bertindak terhadap aturan-aturan sosial yang dipandang sangat serius. Konsepsi ini dapat dikatakan lebih kuno karena tidak membedakan moralitas dan kebiasaan sosial. Sebaliknya, konsepsi ini dapat dikatakan lebih modern karena munculnya ilmu-ilmu sosial telah mendorong banyak orang modern untuk mendukung relativisme cultural dalam moralitas, yang menghasilkan kepercayaan bahwa moralitas didasarkan pada kode tingkah laku apa pun yang disetujui oleh suatu masyarakat.
Durkheim menyebut tradisi relativistik sosial sebagai the morality of our time, yaitu system aturan untuk bertindak yang mengatur perilaku yang bersifat lokal. Menurutnya, aturan-aturan ini tidak merupakan prinsip-prinsip universal. Adapun yang membedakan antara yang moral dan sosial hanya keseriusan melaksanakan aturan tertentu. Oleh karena itu, kriterianya bersifat psikologis bukan criteria logis, dan filosofi yang mendasarinya disebut emotivism.


3)        Otonomi Rasional Dalam Hubungan Antarpribadi
Konsepsi moralitas ini disebut juga formalism. Menurut pandangan ini, istilah moralitas merujuk pada bentuk wacana rasional tertentu dalam kehidupan manusia, digunakan untuk menentukan yang baik dan yang harus dikerjakan. Bermoral berarti siap memberikan alasan suatu tindakan tertentu, terutama tindakan yang mempengaruhi hasrat orang-orang lain.
Landasan moralitas bergeser dari kebiasaan yang alamiah atau kebiasaan sosial menjadi wacana rasional. Inti moralitas adalah metode, bukan isi, otonomi, bukan kepatuhan atau konformitas. Bentuk penalaran moral individu ialah objektivitas rasional dan sikap tidak memihak.
Frankena (1970) menghasilkan analisis yang memperjelas konsepsi moralitas filosofis kontemporer. Dia menyatakan bahwa ada dua konsepsi utama moralitas. Pertama, bersifat material (berkenaan dengan substansi tanggung jawab moral) dan soial, yakni merujuk pada aturan moral tertentu. Kedua, bersifat formal, jika kita membedakan yang bermoral dan nonmoral. Konsepsi formal bersifat sangat individualistik.
4)        Otonomi Eksistensial Dalam Pilihan Seseorang
Formalisme dipandang hanya sebagai suatu inovasi canggih dari kerangka tradisional filosofi rasionalistik yang diduga keras merupakan bagian dari konsepsi universal. Koonsepsi moralitas ini sangat mempertimbangkan persoalan pribadi dan menghargai keberadaan individu.
Dalam pandangan personalistik, formalistik perlu diberi ucapan selamat karena menekankan otonomi, tetapi harus dikritik karena memandang rendah keputusan yang dibuat dalam situasi tertentu demi tuntutan intelektual untuk mencapai konsistensi rasional. Kaum rasionalis telah mengabaikan perasaan dan tujuan individu yang datang secara spontan pada saat khusus ketika menghadapi tantangan moral.
Keempat cara untuk memahami moralitas tersebut di atas belum dipadukan oleh suatu teori mataetis. Disamping itu, tiga konsepsi memunculkan makna yang berbeda mengenai istilah “pendidikan moral/nilai”. Tiga konsepsi menyatakan secara tidak langsung perbedaan paradigm penelitian, yang menghasilkan kesimpulan bahwa cara mendidik moralitas hanya valid jika menggunakan konsepsi moralitas tertentu yang disarankan. Sebagai contoh, temuan Kohlberg bahwa tingkat moralitas yang paling tinggi “otonomi rasional” sudah dituntun oleh ketentuan asumsi bahwa analisis formalistik Kantian secara formal benar. Di pihak lain, Carl Rogers menyatakan bahwa manusia secara instrinsik baik dan hanya memerlukan dorongan agar kembali pada jati dirinya. Menurutnya, seorang ahli terapi atau pempinan harus tidak sekedar diatur oleh lingkungannya, tetapi harus dapat mengatur diri (self directed).
B.       Alternatif Pendidikan Nilai
Pendidikan moral atau nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik, sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengn memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut, lewat mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan, tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman disekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik.
Sesuai dengan uraian diatas, pendidikan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk mata pelajaran, mata kuliah, atau penataran dapat digolongkan metode langsung. Karena menggunakan metode langsung ciri indoktrinasi tidak meungkin dihindari. Indoktrinasi menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, nilai-nilai diindoktrinasikan diserap, bahkan dihafal luar kepala tetapi tidak terinternalisasi apa lagi teramalkan. Kedua, nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan, tetapi berkat pengawasan pihak penguasa, bukan atas kesadaran diri. Dalam hal ini nilai moral yang pelaksanaannya seharusnya bersifat suka rela berubah menjadi nilai hukum yang dalam segala aspeknya memerlukan pranata hukum.
1)        Keputusan Moral
Supaya pendidikan moral/nilai tidak bersifat indoktrinatif, subjek didik perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan yang mendasari keputusan moral. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan mengontrol tindakan. Hal ini diperlukan agar seseorang dapat benar-benar memahami keputusan moral yang diambilnya, dapat mengidentifikasi alasan yang baik yang harus diterima dan alasan yang tidak baik yang harus ditolak atau diubah. Subjek didik harus dapat merumuskan perubahan yang perlu dilakukan. Alasan yang baik adalah yang memberikan kontribusi dalam mengatasi situasi yang problematik. Cara ini memungkinkan perkembangan intelektual, menumbuhkan kebebasan berfikir, serta dapat memaddukan proses dan hasil pendidikan secara harmonis.
Fungsi lembaga pendidikan hendaknya tidak hanya memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk mengembangkan pengetahuan. Fungsi pentinf lainnya adalah menciptakan setting sosial yang memungkinkan implementasi pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Pendidikan yang mengabaikan masalah-masalah sosial tidak akan efektif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seharusnya merupakan contoh kehidupan masyarakat yang ideal.
Masalah yang dihadapi oleh lembaga pendidikan adalah banyaknya norma dalam masyarakat sehingga sulit untuk menentukan norma mana yang harus diacu. Dalam situasi semacam ini, yakni adanya berbagai pandangan dan criteria pilihan moral seperti yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini, yang penting adalah memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk dapat mempelajari dan berlatih menentukan pilihan moral. Nila-nilai Pancasila seharusnya dijadikan landasan dalam menentukan pilihan, tidak cukup hanya dipahami apalagi hanya sekedari dihafal.
2)        Pemikiran Moral (Moral Thinking) Dan Tindakan Bermoral (Moral Action)
Pendidikan moral/nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antara pemikiran moral dan tindakan bermoral. Konsepsi moralitas perlu diintegrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat dikembangkan antara lain dengan dilema moral, yang menuntut kemampuan subjek didik untuk mengambil keputusan dalam kondisi yang sangat dilematis. Dengan cara ini, pemikiran moral dapat berkembang dari tingkat yang paling rendah yang berorientasi pada kepatuhan pada otoritas karena takut akan hukuman fisik ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang berorientasi pada pemenuhan keinginan pribadi, loyalitas pada kelompok, pelaksanaan tugas dalam masyarakat sesuai dengan peraturan atau hukum, sampai yang paling tinggi, yakni mendukung kebenaran atau nilai-nilai hakiki, khususnya mengenai kejujuran, keadilan, penghargaan atas hak asasi manusia, dan kepedulian sosial.
Pendidikan moral/nilai hendaknya mampu menumbuhkan kemandirian. Dengan demikian, subjek didik semakin mampu mengatasi masalah yang dihadapi. Namun, sebagai anggota masyarakat, subjek didik juga perlu menyadari bahwa kesalingtergantungan  merupakan prasyarat bagi terciptanya kehidupan sosial yang harmonis.
Pengembangan pemikiran moral perlu disertai dengan pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan moral, kedua komponen tersebut yaitu komponen kognitif dan afektif sama pentingnya. Aspek kognitif memunkginkan seseorang dapat menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk melakukan tindakan bermoral. Ketakwaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha ESa yakni ketakutan untuk melanggar LaranganNya dan komitmen untuk melaksanakan perintahNya, merupakan benteng paling kuat untuk mengamankan tumbuhnya pribadi bermoral. Disamping itu, diperlukan aspek sosio cultural yang mendukung. Aspek sosio cultural yang kondusif bagi terwujudnya tindakan bermoral dapat diibaratkan sebagai persemaian benih-benih moralitas dalam kehidupan masyarakat. 

2.      Pendidikan Keterampilan Berfikir Kritis Dan Kreatif Serta Kepekaan Sosial
Pendidikan diharapkan memberikan pengetahuan yang memungkinkan orang dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan dalam tugas-tugas professional dan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat cepat seperti sekarang ini, kerap kali pengetahuan yang kita miliki tidak dapat kita terapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul. Oleh karena itu, diperlukan ketrampilan berfikir kritis dan kreatif, ketrampilan memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Untuk itu, perlu adanya kepekaan terhadap masalah yang muncul dalam masyarakat dan kejelian untuk mengidentifikasi masalah serta merumuskannya secara tepat.
A.  Keterampilan Berfikir Kritis
Tanpa berfikir kritis, perguruan tinggi lebih merupakan latihan ketahanan dari pada pendidikan (Svincki dan Kreamer dalam Young, 1980:59). Pernyataan ini mengandung makna bahwa pengembangan keterampilan berfikir kritis merupakan suatu keharusan bagi setiap perguruan tinggi. Perguruan tingi keguruan bahkan perlu didesain untuk menolong mahasiswa mengembangkan keterampilan berfikir kritis, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk anak didiknya kelak. Dengan membiasakan diri berfikir analitis, mahasiswa akan memiliki ide-ide cemerlang, mau bekerja keras, ambisius (dalam arti bergairah untuk maju), sekaligus dapat mengingat denagn baik.
B.  Keterampilan Berfikir Kreatif
Keterampilan berfikir kreatif, yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk menghasilkan sutau ide yang baru, konstruktif, dan baik, berdasarkan konsep-konsep rasional, persepsi, dan intuisi individu (Suprapto, 1997:7). Berfikir kreatif melibatkan rasio dan intuisi. Dalam hal ini, Rubinstein dan Firstenberg (Stice, 1987 : 25) berpendapat bahwa dengan saran berfikir rasional dan imajinatif, kita dapat mengembangkan kapasitas untuk mengenal pola-pola baru dan prinsip-prinsip baru, menyatukan fenomena yang berbeda-beda, dan menyederhanakan situasi yang kompleks. Inilah hakikat berfikir kreatif dan produktif, yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah.
Orang-orang yang kreatif bersikap positif terhadap pemecahan masalah. Mereka menganggap masalah sebagai suatu tantangan, suatu kesempatan untuk memperoleh pengalaman baru, dan suatu pengayaan perbendaharaan sarana berfikir, suatu pengalaman belajar. Dengan sikap positif, usaha yang mungkin menyebabkan frustasi dalam mencari suatu solusi terkompensasi (terimbangi) oleh pengalaman-pengalaman yang dapat diperoleh dalam proses menemukan suatu solusi. Orang-orang yang kreatif memandang suatu rintangan, suatu petualangan intelektual dan emosional. Orang-orang kreatif tidak lari dari situasi yang kompleks. Mereka menyenangi pengalaman-pengalaman beru. Mereka lebih banyak aktif dari pada pasif, dan mereka memiliki kapasitas untuk menghasilkan sesuatu. Mereka memiliki rasa percaya diri dan dapat mengontrol diri (Rubinstein dan Firstenberg dalam Stice, 1987 : 26)
C.  Kepekaan Sosial
Ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial karena ia merupakan warga masyarakat dan memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsi ilmuwan adalah secara terus menerus melakukan kajian ilmiah dan ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial keilmuwan ialah memberikan pendangan atau perspektif yang benar. Dengan kemampuan analisisnya atau kemampuan mengadakan penyelidikan ilmiah, ilmuwan dapa menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadai oleh masyarakat.
Mahasiswa dalah calon ilmuwan. Oleh karena itu, setiap mahasiswa perlu mempersiapkan diri untuk dapat memikul tanggung jawab sosial seperti yang diutarakan diatas. Mahasiswa seharusnya memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat, terutam ayang terkait dengan bidang yang menjadi pilihannya. Ia harus mengidentifikasikan dan menemukan masalah dengan tepat, kemudian dengan berfikir kritis dan kreatif melakukan analisis atau penelitian guna menemukan alternatif pemecahan masalah tersebut.
Hanya orang0orang kreatif yang memiliki kepekaan terhadap lingkungannya dan menyadari hal-hal yang tidak disadari oleh ornag lain. Kerap kali kurangnya kesadaran terjadi karena sudah terbiasa berfikir dengan pola-pola tertentu. Ornag-ornag dapat menghasilkan solusi dari suatu masalah dengan baik jika memiliki pandangan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, kecuali ciptaan Alloh SWT. Oleh karena itu, setiap hal dapat ditingkatkan atau diperbaiki (Evan, 1980 : 40-41).
Kepekaan terhadap masalah-masalah sosial adalah kemampuan untuk menyadari bahwa ada sesuatu masalah yang muncul atau kemampuan untuk memilih satu masalah besar yang kompleks menjadi masalah-masalah yang lebih sederhana serta memisahkan argument-argumen yang tidak benar, sehingga dapat mengenal masalah sebenarnya. Ada kecenderungan untuk menghasilkan suatu solusi masalah dengan cepat, tanpa memahami masalah yang sebenarnya. Hal ini perlu dihindari, agar diperoleh solusi yang tepat.   
  
3.      Rekonstruksi Peran Orang Tua Dan Guru Dalam Pendidikan Nilai Dan Spiritualitas
Ø  Kemitraan Sekolah Dan Keluarga
Kerja sama antara sekolah dan keluarga perlu ditingkatkan supaya tidak terjadi kontradiksi atau ketidakselarasan antara nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh anak-anak disekolah dan yang harus mereka ikuti di lingkungan keluarga atau masyarakat. Apabila terjadi konflik nilai, anak-anak mungkin akan merasa bingung sehingga tidak memiliki pegangan nilai yang menjadi acuan dalam berperilaku. Akibatnya, mereka tidak mampu mengontrol diri dalam menghadapi pengaruh –pengaruh negatif dari lingkungan sekitar mereka.
Pola kemitraan antara sekolah dan keluarga yang bagaimana yang kiranya efektif, dalam rangka pendidikan nilai dan spiritualitas bagi masyarakat Indonesia? Kemitraan yang diperlukan tentu saja bukan yang bersifat formal berupa penandatanganan surat perjanjian atau yang serupa dengan itu, tetapi yang secara alami dan berkesinambungandapat menyatukan langkah dalam mendidik putra-putri bangsa Indonesia. Penciptaan suasana yang kondusif bagi pendidikan nilai dan spiritualitas, baik diseolah maupun dirumah, tampaknya merupakan salah satu bentuk kemitraan yang perlu dikembangkan.
Suasana kehidupan di sekolah dan di rumah mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, karena hal itu merupakan wahana penyemaian nilai-nilai yang akan dijadikan acuan oleh anak dalam setiap tindakannya. Apabila anak-anak merasa tentram ketika berada di sekolah, demikian juga ketika tinggal di rumah, mereka dapat diharapkan memiliki dorongan yang kuat untuk melaksanakan tugas sekolah dan tugas rumah dengan sebaik-baiknya. Lebih dari itu, mereka akan dengan suka rela menerima dan mengamalkan nilai-nilain positif yang menjadi keyakinan mereka beserta seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, apabila anak-anak merasa tidak tenang dan gelisah dalam menghadapi pertentangan, atau tidak diperdulikan, perkembangan intelektual dan emosional mereka akan terhambat. Akibatnya, nilai-nilai positif mereka abaikan dan nilai-nilai negatif mereka jadikan landasan dalam berperilaku.
Schmuck dan Schmuck (1983) menganjurkan dikembangkannya suasana kelas yang positif, yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
·      Murid-murid menginginkan hasil yang terbaik yang sesuai dengan kemampuan masing-masing dan saling memberikan dukungan
·      Murid-murid saling memberikan pengaruh positif
·      Kegembiraan muncul di sekolah secara umum dan dikelas secara khusus
·      Peraturan sekolah diikuti secara tertib tanpa paksaan, sehingga tugas-tugas dapat dikerjakan dengan baik
·      Komunikasi antar warag sekoalh bersifat terbuka dan diwarnai dengan dialog secara akrab
·      Proses bekerja dan berkembang bersama sebagai suatu kelompok dipandang cocok untuk belajar.
Suasa kelas atau sekolah yang positif dengan cirri di atas itulah yang memungkinkan anak-anak dapat mengembangkan nilai-nilai fundamental yang sangat diperlukan dalam kehidupan sosial. Nilai-niali tersebut antara lain kasing saying anatar sesame umat, kemauan untuk mencapai yang terbaik dengan cara-cara yang diridhai oleh Alloh SWT, dan kesenangan bekerja sama untuk mencapai kemajuan bersama. Nila-nilai ilnilah yang merupakan persyaratan bagin terbangunnya masyarakat yang maju dan damai.
Suasana kehidupan dalam lingkungan keluarga seharusnya juga dikembangkan selaras dengan suasana sekoalh seperti yang diungkapkan di atas. Komunikasi antar anggota keluarga hendaknya bersifat terbuka dan dilandasi rasa kasih saying yang tulus. Dorongan untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemapuan masing-masing senantiasa diberikan oleh orang tua, dan kesempatan bekerja sama secara ikhlas perlu dijadikan kebiasaan dalam keluarga, bahkan juga dalam masyarakat. Dengan demikian, anak-anak akan menggunakan acuan niali yang tidak kontradiktif ketika berada di sekolah dan ketika tinggal di rumah, di lingkungan keluarga masing-masing.
Nilai-nilai positif yang hendak dikembangkan disekoalh, yang juga diprogramkan untuk dikembangkan di lingkungan keluarga, hendaknya merupakan hasil diskusi pihak sekolah dan perwakilan orang tua murid. Selanjutnya, hal itu perlu disosialisasikan kepada seluruh orang tua murid. Caranya tidak harus lewat pertemuan tatap muka, tetapi dapat pula lewat brosur-brosur sehingga dapat dibaca ulang oleh orang tua, atau apabila kemungkinan lebih baik dibacakan oleh anak kepada orang tuanya masing-masing. Komunikasi tertulis ini sedapat mungkin dikembnagkan, agar pihak sekoalh dan keluarga dapat secara mudah saling mengingatkan apabila terjadi penyimpangan dari keputusan yang telah dibuat bersama.
Ada lima faktor yang mendukung pengembangan suasana positif di sekolah (juga dalam lingkungan keluarga), yaitu partisipasi, kepemimpinan, persahabatan, norama, dan kekohesifan (Schmuck dan Schmuck, 1983 : 30).
Faktor pertama yang mendukung pengembangan suasana positif di seolah dan di lingkungan keluarga dalah partisipasi. Apabila hampir semua pembicaraan dan informasi datang dari guru dan orang tua, sehingga anak-anak jarang berbagi (sharing) gagasan, mereka tidak akan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan tentang kegiatan di sekolah dan di rumah. Akibatnya, mereka tidak akan dapat melaksanakan tugas yang memerlukan perencanaan, kerja sama, dan kesalingtergantungan (interdependensi).
Guru-guru dan para orang tua yang tidak membiarkan anak-anak mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka, terlalu banyak mengontrol, dapat menghambat perkembangan emosional yang sangat diperlukan untuk bekerja sama dengan orang lain. Apabila guru dan orang tua membiarkan anak-anak berkembang secara wajar, hal itu akan berdampak positif pada proses belajar yang mereka alami. Anak-anak secara bertahap akan menirukan perilaku guru dan orang tua. Mereka mulai menghargai pengungkapan gagasan yang dilakukan oleh orang lain dan yang mereka lakukan sendiri. Juga perlu, dapat diadakan tukar informasi atau pendapat secara bebas dan dilanjutkan dengan kegiatan membuat keputusan bersama. Dengan cara demikian dapat diharapkan anak-anak akhirnya mampu dan mau mengarahkan tindakan mereka sendiri dan dapat menentukan tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama.
Para guru atau orang tua yang ingin mengembangkan suasana positif di sekolah atau di lingkungan keluarga harus memberikan dorongan kepada anak-anak untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka sendiri, membuat keputusan sendiri, dan berpartisipasi dalam menentukan tujuan belajar serta prosedur pencapaiannya. Guru-guru dan orang tua juga dapat mengatur suasana kelas atau keluarga sedemikian rupa sehingga anak-anak mendiskusikan masalah masing-masing secara bersama-sama. Bekerja dan berdiskusi bersama dapat memberikan kesempatan untuk memahami satu sama lain dan memberikan kesempatan untuk berinteraksi.
Faktor yang kedua, yaitu kepemimpinan yang menurut Schmuck dan Schmuck (1983) adalah suatu proses mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, kepemimpinan dipandang sebagai perilaku, ada yang menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, utnuk menolong suatu kelompok mencapai suatu tujuan. Kepemimpinan yang menyenangkan terdiri dari tindakan-tindakan yang membantu dalam penentuan tujuan, meningkatkan kualitas interaksi individu, dan menumbuhkan kekoherensifan kelompok sehingga dapat mengembangkan kompetensi individu. 
Di sekolah dan di lingkungan keluarga, kepemimpinan merupakan proses dinamik yang muncul di antara anak-anak. Disamping guru dan orang tua, anak-anak seharusnya juga menampilkan fungsi-fungsi kepemimpinan. Ada dua fungsi agar suatu kelompok dapat bekerja secara efektif, yaitu fungsi tugas dan fungsi sosial emosional. Fungsi tugas membantu suatu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang bersifat akademik, sedangkan fungsi sosial menolong suatu kelompok menjaga kesatuan internal dan menumbuhkan perasaan keakraban. Contoh fungsi tugas adalah kegiatan-kegiatan seperti mengajukan pendapat, mencari informasi, memberikan informasi, dan memperjelas atau mengecek paham atau tidaknya anak dalam mempelajari suatu materi. Contoh fungsi sosial emosional adalah kegiatan-kegiatan seperti memberikan dorongan, mengungkapkan perasaan, menyelaraskan atau menyatukan pendapat, dan memberikan kesempatan untuk berbicara kepada anak-anak yang pendiam. 
Fungsi tugas dan fungsi sosial emosional berguna untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif. Apabila kepemimpinan guru atau orang tua dimiliki juga oleh anak-anak sehingga mereka melaksanakan kedua fungsi tersebut, maka keberhasilan pendidikan kemungkinan besar dapat dicapai.  
Faktor lain yang perlu diperhatikan ialah persahabatan. Kelompok anak-anak harus dikelola sedemikian rupa sehingga mereka cenderung berperilaku yang konstruktif dan produktif. Apabila suatu sekolah atau keluarga penuh dengan kegelisahan, kekerasan, dan keraguan, anak-anak akan berperilaku tidak konstruksi dan tidak produktif. Suasana yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas adalah yang diwarnai dengan persahabatan, bukan kedengkian. 
Berikutnya adalah faktor norma atau aturan. Norma mempengaruhi keterlibatan anak dalam suatu pekerjaan dan berdampak pada kualitas hubungan antarpribadi. Aturan sekolah dan keluarga hendaknya fleksibel karena banyak perbedaan antara anak yang satu dengan yang lainnya. Suasana kelas yang sportif, demikian juga suasana keluarga, menyebabkan timbulnya perilaku toleran terhadap adanya perbedaan individu. 
Faktor terakhir yang mendukung suasana positif di sekolah dan di dalam keluarga ialah kekohesifan, yaitu kesenangan anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompoknya. Kekohesifan sekolah atau keluarga berkenaan dengan perasaan anak terhadap seluruh teman sekolahnya dan semua warga sekolah atau semua anggota keluarga. Anggota kelompok yang kehesif biasanya lebih loyal terhadap kelompoknya dan lebih memperhatikan perasaan anggota kelompok, dalam hal ini perasaan guru dan teman-temannya di sekolah atau perasaan semua anggota keluarganya di rumah.




BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Humanisasi pendidikan sangat diperlukan guna mewujudkan bangsa yang cerdas dan berakhlakul mulia. Dengan demikian, dimungkinkan terbentuknya kehidupan sosial yang ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya dengan tepat untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin serta keselamatan dunia akhirat.

B.     Saran
·           Bagi guru di seluruh Indonesia, penulis berharap kembangkanlah pengembangan karakteristik afektif pada siswa secara sadar dan sistematis
·           Bagi para pembaca, penulis berpesan bacalah buku atau makalah secara analitis, khususnya bagi calon guru.
·           Bagi lembaga pendidikan, terapkanlah humanisasi pendidikan yang penerapannya mengarah pada pembentukan moralitas siswa yang luhur, cerdas kognitif dan juga cerdas afektif dan sosial. 






DAFTAR PUSTAKA

Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D, “ Humanisasi Pendidikan” Kata Pengantar “Prof. Suyanto, Ph.D. “Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi” Jakarta : PT. Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar