BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kondisi
masyarakat Indonesia pada saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu
keguncangan yang cukup mengerikan dalam perkembangan peradaban bangsa kita.
Nilai-nilai fundamental seperti penghargaan atas hak hidup seseorang ternyata
sudah tidak lagi dijadikan landasan dalam bertindak oleh berbagai kelompok
masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Rasa kasih saying antara sesame
makhluk Illahi diganti dengan kebencian yang dilancarkan oleh berbagi kelompok
etnis, pemeluk agama, anggota partai politik, bahkan oleh komunitas yang secara
historis terkenal memiliki jiwa gotong royong yang tinggi, yakni masyarakat
desa atau kampong. Kesadaran akan harga diri dan empati dihancurkan oleh
ledakan emosi yang tidak terkendali.
Kondisi
yang sangat menyedihkan tersebut masih ditambah dengan merosotnya moralitas
sebagian masyarakat dalam bentuk ketergantungan pada narkotik dan obat
terlarang. Norma-norma hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrimnya
juga sering dilanggar. Demikian juga nilai-nilai kejujuran, seakan-seakan telah
terkubur oleh kobohongan dan tipu daya.
Namun,
kita tidak boleh berputus asa dan harus senantiasa berikhtiar untuk mengatasi
masalah yang sangat kompleks tersebut. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya,
baik secara lahir berupa tindakan-tindakan kuratif dan preventif yang dipandang
cukup efektif, maupun secara batin dengan memperbanyak amal shaleh, memohon
ampun secara ikhlas, dan memanjatkan doa secara khusyu kehadirat Alloh SWT.
Upaya lahir dan batin tidak cukup dilakukan oleh sebagian kecil rakyat
Indonesia, tetapi harus oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Untuk
itu, diperlukan rekonstruksi pendidikan nilai dan spiritualitas bagi rakyat
Indonesia. Karena penanaman nilai secara dini dilakukan dalam keluarga,
terutama oleh orang tua, kemudian di sekolah secara formal oleh guru , maka
perlu rekonstruksi peran orang tua dan guru.
B.
Tujuan Penulisan
·
Guna mewujudkan bangsa yang cerdas dan
berakhlak mulia
·
Meningkatkan kualitas pendidikaan
karakter / pendidikan nilai/ pendidikan moral/ pendidikan akhlak di Indonesia
·
Terbentuknya kehidupan sosial yang
ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya
dengan tepat untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin serta keselamatan dunia
dan akhirat
C.
Rumusan Masalah
·
Bagaimanakah Konsepsi Moralitas Dan
Pendidikan Nilai ?
·
Apa pengertian dan penerapan dalam
kehidupan tentang Pendidikan Keterampilan Berfikir Kritis Dan Kreatif Serta
Kepekaan Sosial ?
·
Bagaimanakan Rekonstruksi Peran Orang
Tua Dan Guru Dalam Pendidikan Nilai Dan Spiritualitas ?
BAB
2
PEMBAHASAN
Humanisasi
pendidikan dapat mencegah ketidakmanusiaan dalam pendidikan sehingga tercapai
moralitas dalam pendidikan yang selama ini diimpikan. Bagaimana konsep
pendidikan yang manusiawi sehingga sasaran menjadi manusia yang bukan hanya
cerdas, tetapi juga berkahlak mulia. Dimulai dari memahami moralitas sampai
implementasi dalam pengembangan kecerdasan religius, kultural, sosial,
emosional, dan intelektual
1. Konsepsi Moralitas Dan Pendidikan
Nilai
A. Konsepsi
Moral
1)
Kepatuhan Pada Hukum Moral
Konsepsi
moralitas kepatuhan pada hukum moral mengandung tiga hal penting. Pertama,
bidang moralitas berkisar pada tindakan manusia secara suka rela, yaitu
tindakan yang merupakan hasil dari keputusan secara sadar. Kedua, tindakan
tersebut selaras dengan keyakinan seseorang tentang kewajiban yang harus
diemban. Ketiga, kewajiban seseorang, atau apa yang benar dan baik adalah yang
tidak menlanggar hukum, dalam arti secara universal diatur oleh alam kehidupan
manusia dalam masyarakat. Konsepsi ini ditentang oleh Moore karena dianggap
tidak valid. Menururtnya tidak logis, mengapa alasan dalam melakukan sesuatu
hanya menunjukkan bahwa memang seharusnya begitu.
2)
Konformitas Pada Aturan Sosial
Konsepsi
moralitas yang kedua berfokus pada cara manusia bertindak terhadap
aturan-aturan sosial yang dipandang sangat serius. Konsepsi ini dapat dikatakan
lebih kuno karena tidak membedakan moralitas dan kebiasaan sosial. Sebaliknya,
konsepsi ini dapat dikatakan lebih modern karena munculnya ilmu-ilmu sosial
telah mendorong banyak orang modern untuk mendukung relativisme cultural dalam
moralitas, yang menghasilkan kepercayaan bahwa moralitas didasarkan pada kode
tingkah laku apa pun yang disetujui oleh suatu masyarakat.
Durkheim
menyebut tradisi relativistik sosial sebagai the morality of our time, yaitu system aturan untuk bertindak yang
mengatur perilaku yang bersifat lokal. Menurutnya, aturan-aturan ini tidak
merupakan prinsip-prinsip universal. Adapun yang membedakan antara yang moral
dan sosial hanya keseriusan melaksanakan aturan tertentu. Oleh karena itu,
kriterianya bersifat psikologis bukan criteria logis, dan filosofi yang
mendasarinya disebut emotivism.
3)
Otonomi Rasional Dalam Hubungan
Antarpribadi
Konsepsi
moralitas ini disebut juga formalism. Menurut pandangan ini, istilah moralitas
merujuk pada bentuk wacana rasional tertentu dalam kehidupan manusia, digunakan
untuk menentukan yang baik dan yang harus dikerjakan. Bermoral berarti siap
memberikan alasan suatu tindakan tertentu, terutama tindakan yang mempengaruhi
hasrat orang-orang lain.
Landasan
moralitas bergeser dari kebiasaan yang alamiah atau kebiasaan sosial menjadi
wacana rasional. Inti moralitas adalah metode, bukan isi, otonomi, bukan kepatuhan
atau konformitas. Bentuk penalaran moral individu ialah objektivitas rasional
dan sikap tidak memihak.
Frankena
(1970) menghasilkan analisis yang memperjelas konsepsi moralitas filosofis
kontemporer. Dia menyatakan bahwa ada dua konsepsi utama moralitas. Pertama,
bersifat material (berkenaan dengan substansi tanggung jawab moral) dan soial,
yakni merujuk pada aturan moral tertentu. Kedua, bersifat formal, jika kita
membedakan yang bermoral dan nonmoral. Konsepsi formal bersifat sangat
individualistik.
4)
Otonomi Eksistensial Dalam Pilihan
Seseorang
Formalisme
dipandang hanya sebagai suatu inovasi canggih dari kerangka tradisional
filosofi rasionalistik yang diduga keras merupakan bagian dari konsepsi
universal. Koonsepsi moralitas ini sangat mempertimbangkan persoalan pribadi
dan menghargai keberadaan individu.
Dalam
pandangan personalistik, formalistik perlu diberi ucapan selamat karena
menekankan otonomi, tetapi harus dikritik karena memandang rendah keputusan
yang dibuat dalam situasi tertentu demi tuntutan intelektual untuk mencapai
konsistensi rasional. Kaum rasionalis telah mengabaikan perasaan dan tujuan
individu yang datang secara spontan pada saat khusus ketika menghadapi
tantangan moral.
Keempat
cara untuk memahami moralitas tersebut di atas belum dipadukan oleh suatu teori
mataetis. Disamping itu, tiga konsepsi memunculkan makna yang berbeda mengenai
istilah “pendidikan moral/nilai”. Tiga konsepsi menyatakan secara tidak
langsung perbedaan paradigm penelitian, yang menghasilkan kesimpulan bahwa cara
mendidik moralitas hanya valid jika menggunakan konsepsi moralitas tertentu
yang disarankan. Sebagai contoh, temuan Kohlberg bahwa tingkat moralitas yang
paling tinggi “otonomi rasional” sudah dituntun oleh ketentuan asumsi bahwa
analisis formalistik Kantian secara formal benar. Di pihak lain, Carl Rogers
menyatakan bahwa manusia secara instrinsik baik dan hanya memerlukan dorongan
agar kembali pada jati dirinya. Menurutnya, seorang ahli terapi atau pempinan
harus tidak sekedar diatur oleh lingkungannya, tetapi harus dapat mengatur diri
(self directed).
B. Alternatif
Pendidikan Nilai
Pendidikan moral atau nilai dapat disampaikan dengan
metode langsung atau tak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan
perilaku yang dinilai baik, sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya
dengn memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut, lewat
mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tak
langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan, tetapi
dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat
dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman disekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan
perilaku yang baik.
Sesuai dengan uraian diatas, pendidikan nilai-nilai
Pancasila dalam bentuk mata pelajaran, mata kuliah, atau penataran dapat
digolongkan metode langsung. Karena menggunakan metode langsung ciri
indoktrinasi tidak meungkin dihindari. Indoktrinasi menghasilkan dua
kemungkinan. Pertama, nilai-nilai diindoktrinasikan diserap, bahkan dihafal luar
kepala tetapi tidak terinternalisasi apa lagi teramalkan. Kedua, nilai-nilai
tersebut diterapkan dalam kehidupan, tetapi berkat pengawasan pihak penguasa,
bukan atas kesadaran diri. Dalam hal ini nilai moral yang pelaksanaannya
seharusnya bersifat suka rela berubah menjadi nilai hukum yang dalam segala
aspeknya memerlukan pranata hukum.
1)
Keputusan Moral
Supaya pendidikan moral/nilai tidak bersifat
indoktrinatif, subjek didik perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan
yang mendasari keputusan moral. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan
mengontrol tindakan. Hal ini diperlukan agar seseorang dapat benar-benar
memahami keputusan moral yang diambilnya, dapat mengidentifikasi alasan yang
baik yang harus diterima dan alasan yang tidak baik yang harus ditolak atau
diubah. Subjek didik harus dapat merumuskan perubahan yang perlu dilakukan.
Alasan yang baik adalah yang memberikan kontribusi dalam mengatasi situasi yang
problematik. Cara ini memungkinkan perkembangan intelektual, menumbuhkan
kebebasan berfikir, serta dapat memaddukan proses dan hasil pendidikan secara
harmonis.
Fungsi lembaga pendidikan hendaknya tidak hanya
memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk mengembangkan pengetahuan.
Fungsi pentinf lainnya adalah menciptakan setting sosial yang memungkinkan
implementasi pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada dalam
masyarakat. Pendidikan yang mengabaikan masalah-masalah sosial tidak akan
efektif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seharusnya merupakan contoh
kehidupan masyarakat yang ideal.
Masalah yang dihadapi oleh lembaga pendidikan adalah
banyaknya norma dalam masyarakat sehingga sulit untuk menentukan norma mana
yang harus diacu. Dalam situasi semacam ini, yakni adanya berbagai pandangan
dan criteria pilihan moral seperti yang terjadi dalam masyarakat Indonesia
dewasa ini, yang penting adalah memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk
dapat mempelajari dan berlatih menentukan pilihan moral. Nila-nilai Pancasila
seharusnya dijadikan landasan dalam menentukan pilihan, tidak cukup hanya
dipahami apalagi hanya sekedari dihafal.
2)
Pemikiran Moral (Moral Thinking) Dan Tindakan
Bermoral (Moral Action)
Pendidikan moral/nilai hendaknya difokuskan pada
kaitan antara pemikiran moral dan tindakan bermoral. Konsepsi moralitas perlu
diintegrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat
dikembangkan antara lain dengan dilema moral, yang menuntut kemampuan subjek
didik untuk mengambil keputusan dalam kondisi yang sangat dilematis. Dengan
cara ini, pemikiran moral dapat berkembang dari tingkat yang paling rendah yang
berorientasi pada kepatuhan pada otoritas karena takut akan hukuman fisik ke
tingkat-tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang berorientasi pada pemenuhan
keinginan pribadi, loyalitas pada kelompok, pelaksanaan tugas dalam masyarakat
sesuai dengan peraturan atau hukum, sampai yang paling tinggi, yakni mendukung
kebenaran atau nilai-nilai hakiki, khususnya mengenai kejujuran, keadilan,
penghargaan atas hak asasi manusia, dan kepedulian sosial.
Pendidikan moral/nilai hendaknya mampu menumbuhkan
kemandirian. Dengan demikian, subjek didik semakin mampu mengatasi masalah yang
dihadapi. Namun, sebagai anggota masyarakat, subjek didik juga perlu menyadari
bahwa kesalingtergantungan merupakan
prasyarat bagi terciptanya kehidupan sosial yang harmonis.
Pengembangan pemikiran moral perlu disertai dengan
pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan moral, kedua komponen
tersebut yaitu komponen kognitif dan afektif sama pentingnya. Aspek kognitif
memunkginkan seseorang dapat menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan
aspek afektif menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk
melakukan tindakan bermoral. Ketakwaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha ESa
yakni ketakutan untuk melanggar LaranganNya dan komitmen untuk melaksanakan
perintahNya, merupakan benteng paling kuat untuk mengamankan tumbuhnya pribadi
bermoral. Disamping itu, diperlukan aspek sosio cultural yang mendukung. Aspek
sosio cultural yang kondusif bagi terwujudnya tindakan bermoral dapat
diibaratkan sebagai persemaian benih-benih moralitas dalam kehidupan
masyarakat.
2. Pendidikan Keterampilan Berfikir
Kritis Dan Kreatif Serta Kepekaan Sosial
Pendidikan diharapkan memberikan pengetahuan yang
memungkinkan orang dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan dalam tugas-tugas
professional dan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam kondisi kehidupan
yang berubah dengan sangat cepat seperti sekarang ini, kerap kali pengetahuan
yang kita miliki tidak dapat kita terapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang
muncul. Oleh karena itu, diperlukan ketrampilan berfikir kritis dan kreatif,
ketrampilan memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Untuk itu, perlu adanya
kepekaan terhadap masalah yang muncul dalam masyarakat dan kejelian untuk
mengidentifikasi masalah serta merumuskannya secara tepat.
A. Keterampilan
Berfikir Kritis
Tanpa
berfikir kritis, perguruan tinggi lebih merupakan latihan ketahanan dari pada
pendidikan (Svincki dan Kreamer dalam Young, 1980:59). Pernyataan ini
mengandung makna bahwa pengembangan keterampilan berfikir kritis merupakan
suatu keharusan bagi setiap perguruan tinggi. Perguruan tingi keguruan bahkan
perlu didesain untuk menolong mahasiswa mengembangkan keterampilan berfikir
kritis, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk anak didiknya kelak. Dengan
membiasakan diri berfikir analitis, mahasiswa akan memiliki ide-ide cemerlang,
mau bekerja keras, ambisius (dalam arti bergairah untuk maju), sekaligus dapat
mengingat denagn baik.
B. Keterampilan
Berfikir Kreatif
Keterampilan berfikir kreatif, yaitu keterampilan
individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk menghasilkan sutau ide yang
baru, konstruktif, dan baik, berdasarkan konsep-konsep rasional, persepsi, dan
intuisi individu (Suprapto, 1997:7). Berfikir kreatif melibatkan rasio dan
intuisi. Dalam hal ini, Rubinstein dan Firstenberg (Stice, 1987 : 25)
berpendapat bahwa dengan saran berfikir rasional dan imajinatif, kita dapat
mengembangkan kapasitas untuk mengenal pola-pola baru dan prinsip-prinsip baru,
menyatukan fenomena yang berbeda-beda, dan menyederhanakan situasi yang
kompleks. Inilah hakikat berfikir kreatif dan produktif, yang memungkinkan
seseorang dapat memecahkan masalah.
Orang-orang yang kreatif bersikap positif terhadap
pemecahan masalah. Mereka menganggap masalah sebagai suatu tantangan, suatu
kesempatan untuk memperoleh pengalaman baru, dan suatu pengayaan perbendaharaan
sarana berfikir, suatu pengalaman belajar. Dengan sikap positif, usaha yang
mungkin menyebabkan frustasi dalam mencari suatu solusi terkompensasi
(terimbangi) oleh pengalaman-pengalaman yang dapat diperoleh dalam proses menemukan
suatu solusi. Orang-orang yang kreatif memandang suatu rintangan, suatu
petualangan intelektual dan emosional. Orang-orang kreatif tidak lari dari
situasi yang kompleks. Mereka menyenangi pengalaman-pengalaman beru. Mereka
lebih banyak aktif dari pada pasif, dan mereka memiliki kapasitas untuk
menghasilkan sesuatu. Mereka memiliki rasa percaya diri dan dapat mengontrol
diri (Rubinstein dan Firstenberg dalam Stice, 1987 : 26)
C. Kepekaan
Sosial
Ilmuwan
memiliki tanggung jawab sosial karena ia merupakan warga masyarakat dan
memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsi ilmuwan adalah secara terus
menerus melakukan kajian ilmiah dan ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial keilmuwan
ialah memberikan pendangan atau perspektif yang benar. Dengan kemampuan
analisisnya atau kemampuan mengadakan penyelidikan ilmiah, ilmuwan dapa
menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadai oleh masyarakat.
Mahasiswa
dalah calon ilmuwan. Oleh karena itu, setiap mahasiswa perlu mempersiapkan diri
untuk dapat memikul tanggung jawab sosial seperti yang diutarakan diatas.
Mahasiswa seharusnya memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang muncul
dalam masyarakat, terutam ayang terkait dengan bidang yang menjadi pilihannya.
Ia harus mengidentifikasikan dan menemukan masalah dengan tepat, kemudian
dengan berfikir kritis dan kreatif melakukan analisis atau penelitian guna
menemukan alternatif pemecahan masalah tersebut.
Hanya
orang0orang kreatif yang memiliki kepekaan terhadap lingkungannya dan menyadari
hal-hal yang tidak disadari oleh ornag lain. Kerap kali kurangnya kesadaran
terjadi karena sudah terbiasa berfikir dengan pola-pola tertentu. Ornag-ornag
dapat menghasilkan solusi dari suatu masalah dengan baik jika memiliki
pandangan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, kecuali ciptaan Alloh SWT.
Oleh karena itu, setiap hal dapat ditingkatkan atau diperbaiki (Evan, 1980 :
40-41).
Kepekaan
terhadap masalah-masalah sosial adalah kemampuan untuk menyadari bahwa ada
sesuatu masalah yang muncul atau kemampuan untuk memilih satu masalah besar
yang kompleks menjadi masalah-masalah yang lebih sederhana serta memisahkan argument-argumen
yang tidak benar, sehingga dapat mengenal masalah sebenarnya. Ada kecenderungan
untuk menghasilkan suatu solusi masalah dengan cepat, tanpa memahami masalah
yang sebenarnya. Hal ini perlu dihindari, agar diperoleh solusi yang tepat.
3. Rekonstruksi Peran Orang Tua Dan
Guru Dalam Pendidikan Nilai Dan Spiritualitas
Ø Kemitraan
Sekolah Dan Keluarga
Kerja
sama antara sekolah dan keluarga perlu ditingkatkan supaya tidak terjadi
kontradiksi atau ketidakselarasan antara nilai-nilai yang harus dipegang teguh
oleh anak-anak disekolah dan yang harus mereka ikuti di lingkungan keluarga
atau masyarakat. Apabila terjadi konflik nilai, anak-anak mungkin akan merasa
bingung sehingga tidak memiliki pegangan nilai yang menjadi acuan dalam
berperilaku. Akibatnya, mereka tidak mampu mengontrol diri dalam menghadapi pengaruh
–pengaruh negatif dari lingkungan sekitar mereka.
Pola
kemitraan antara sekolah dan keluarga yang bagaimana yang kiranya efektif,
dalam rangka pendidikan nilai dan spiritualitas bagi masyarakat Indonesia?
Kemitraan yang diperlukan tentu saja bukan yang bersifat formal berupa
penandatanganan surat perjanjian atau yang serupa dengan itu, tetapi yang
secara alami dan berkesinambungandapat menyatukan langkah dalam mendidik
putra-putri bangsa Indonesia. Penciptaan suasana yang kondusif bagi pendidikan
nilai dan spiritualitas, baik diseolah maupun dirumah, tampaknya merupakan
salah satu bentuk kemitraan yang perlu dikembangkan.
Suasana
kehidupan di sekolah dan di rumah mempengaruhi perkembangan kepribadian anak,
karena hal itu merupakan wahana penyemaian nilai-nilai yang akan dijadikan
acuan oleh anak dalam setiap tindakannya. Apabila anak-anak merasa tentram
ketika berada di sekolah, demikian juga ketika tinggal di rumah, mereka dapat
diharapkan memiliki dorongan yang kuat untuk melaksanakan tugas sekolah dan
tugas rumah dengan sebaik-baiknya. Lebih dari itu, mereka akan dengan suka rela
menerima dan mengamalkan nilai-nilain positif yang menjadi keyakinan mereka
beserta seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, apabila anak-anak merasa tidak
tenang dan gelisah dalam menghadapi pertentangan, atau tidak diperdulikan,
perkembangan intelektual dan emosional mereka akan terhambat. Akibatnya,
nilai-nilai positif mereka abaikan dan nilai-nilai negatif mereka jadikan
landasan dalam berperilaku.
Schmuck
dan Schmuck (1983) menganjurkan dikembangkannya suasana kelas yang positif,
yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
· Murid-murid
menginginkan hasil yang terbaik yang sesuai dengan kemampuan masing-masing dan
saling memberikan dukungan
· Murid-murid
saling memberikan pengaruh positif
· Kegembiraan
muncul di sekolah secara umum dan dikelas secara khusus
· Peraturan
sekolah diikuti secara tertib tanpa paksaan, sehingga tugas-tugas dapat
dikerjakan dengan baik
· Komunikasi
antar warag sekoalh bersifat terbuka dan diwarnai dengan dialog secara akrab
· Proses
bekerja dan berkembang bersama sebagai suatu kelompok dipandang cocok untuk
belajar.
Suasa
kelas atau sekolah yang positif dengan cirri di atas itulah yang memungkinkan
anak-anak dapat mengembangkan nilai-nilai fundamental yang sangat diperlukan
dalam kehidupan sosial. Nilai-niali tersebut antara lain kasing saying anatar
sesame umat, kemauan untuk mencapai yang terbaik dengan cara-cara yang diridhai
oleh Alloh SWT, dan kesenangan bekerja sama untuk mencapai kemajuan bersama.
Nila-nilai ilnilah yang merupakan persyaratan bagin terbangunnya masyarakat
yang maju dan damai.
Suasana
kehidupan dalam lingkungan keluarga seharusnya juga dikembangkan selaras dengan
suasana sekoalh seperti yang diungkapkan di atas. Komunikasi antar anggota
keluarga hendaknya bersifat terbuka dan dilandasi rasa kasih saying yang tulus.
Dorongan untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemapuan masing-masing
senantiasa diberikan oleh orang tua, dan kesempatan bekerja sama secara ikhlas
perlu dijadikan kebiasaan dalam keluarga, bahkan juga dalam masyarakat. Dengan
demikian, anak-anak akan menggunakan acuan niali yang tidak kontradiktif ketika
berada di sekolah dan ketika tinggal di rumah, di lingkungan keluarga
masing-masing.
Nilai-nilai
positif yang hendak dikembangkan disekoalh, yang juga diprogramkan untuk
dikembangkan di lingkungan keluarga, hendaknya merupakan hasil diskusi pihak
sekolah dan perwakilan orang tua murid. Selanjutnya, hal itu perlu
disosialisasikan kepada seluruh orang tua murid. Caranya tidak harus lewat
pertemuan tatap muka, tetapi dapat pula lewat brosur-brosur sehingga dapat
dibaca ulang oleh orang tua, atau apabila kemungkinan lebih baik dibacakan oleh
anak kepada orang tuanya masing-masing. Komunikasi tertulis ini sedapat mungkin
dikembnagkan, agar pihak sekoalh dan keluarga dapat secara mudah saling
mengingatkan apabila terjadi penyimpangan dari keputusan yang telah dibuat
bersama.
Ada
lima faktor yang mendukung pengembangan suasana positif di sekolah (juga dalam
lingkungan keluarga), yaitu partisipasi, kepemimpinan, persahabatan, norama,
dan kekohesifan (Schmuck dan Schmuck, 1983 : 30).
Faktor
pertama yang mendukung pengembangan suasana positif di seolah dan di lingkungan
keluarga dalah partisipasi. Apabila hampir semua pembicaraan dan informasi
datang dari guru dan orang tua, sehingga anak-anak jarang berbagi (sharing)
gagasan, mereka tidak akan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan tentang kegiatan di sekolah dan di rumah. Akibatnya, mereka
tidak akan dapat melaksanakan tugas yang memerlukan perencanaan, kerja sama,
dan kesalingtergantungan (interdependensi).
Guru-guru
dan para orang tua yang tidak membiarkan anak-anak mengungkapkan gagasan dan
perasaan mereka, terlalu banyak mengontrol, dapat menghambat perkembangan
emosional yang sangat diperlukan untuk bekerja sama dengan orang lain. Apabila
guru dan orang tua membiarkan anak-anak berkembang secara wajar, hal itu akan
berdampak positif pada proses belajar yang mereka alami. Anak-anak secara
bertahap akan menirukan perilaku guru dan orang tua. Mereka mulai menghargai
pengungkapan gagasan yang dilakukan oleh orang lain dan yang mereka lakukan
sendiri. Juga perlu, dapat diadakan tukar informasi atau pendapat secara bebas
dan dilanjutkan dengan kegiatan membuat keputusan bersama. Dengan cara demikian
dapat diharapkan anak-anak akhirnya mampu dan mau mengarahkan tindakan mereka
sendiri dan dapat menentukan tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama.
Para
guru atau orang tua yang ingin mengembangkan suasana positif di sekolah atau di
lingkungan keluarga harus memberikan dorongan kepada anak-anak untuk
mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka sendiri, membuat keputusan sendiri,
dan berpartisipasi dalam menentukan tujuan belajar serta prosedur
pencapaiannya. Guru-guru dan orang tua juga dapat mengatur suasana kelas atau
keluarga sedemikian rupa sehingga anak-anak mendiskusikan masalah masing-masing
secara bersama-sama. Bekerja dan berdiskusi bersama dapat memberikan kesempatan
untuk memahami satu sama lain dan memberikan kesempatan untuk berinteraksi.
Faktor
yang kedua, yaitu kepemimpinan yang menurut Schmuck dan Schmuck (1983) adalah
suatu proses mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, kepemimpinan dipandang
sebagai perilaku, ada yang menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, utnuk
menolong suatu kelompok mencapai suatu tujuan. Kepemimpinan yang menyenangkan
terdiri dari tindakan-tindakan yang membantu dalam penentuan tujuan,
meningkatkan kualitas interaksi individu, dan menumbuhkan kekoherensifan
kelompok sehingga dapat mengembangkan kompetensi individu.
Di
sekolah dan di lingkungan keluarga, kepemimpinan merupakan proses dinamik yang
muncul di antara anak-anak. Disamping guru dan orang tua, anak-anak seharusnya
juga menampilkan fungsi-fungsi kepemimpinan. Ada dua fungsi agar suatu kelompok
dapat bekerja secara efektif, yaitu fungsi tugas dan fungsi sosial emosional.
Fungsi tugas membantu suatu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang bersifat
akademik, sedangkan fungsi sosial menolong suatu kelompok menjaga kesatuan
internal dan menumbuhkan perasaan keakraban. Contoh fungsi tugas adalah
kegiatan-kegiatan seperti mengajukan pendapat, mencari informasi, memberikan
informasi, dan memperjelas atau mengecek paham atau tidaknya anak dalam mempelajari
suatu materi. Contoh fungsi sosial emosional adalah kegiatan-kegiatan seperti
memberikan dorongan, mengungkapkan perasaan, menyelaraskan atau menyatukan
pendapat, dan memberikan kesempatan untuk berbicara kepada anak-anak yang
pendiam.
Fungsi
tugas dan fungsi sosial emosional berguna untuk mewujudkan kepemimpinan yang
efektif. Apabila kepemimpinan guru atau orang tua dimiliki juga oleh anak-anak
sehingga mereka melaksanakan kedua fungsi tersebut, maka keberhasilan
pendidikan kemungkinan besar dapat dicapai.
Faktor
lain yang perlu diperhatikan ialah persahabatan. Kelompok anak-anak harus
dikelola sedemikian rupa sehingga mereka cenderung berperilaku yang konstruktif
dan produktif. Apabila suatu sekolah atau keluarga penuh dengan kegelisahan, kekerasan,
dan keraguan, anak-anak akan berperilaku tidak konstruksi dan tidak produktif.
Suasana yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas adalah
yang diwarnai dengan persahabatan, bukan kedengkian.
Berikutnya
adalah faktor norma atau aturan. Norma mempengaruhi keterlibatan anak dalam
suatu pekerjaan dan berdampak pada kualitas hubungan antarpribadi. Aturan
sekolah dan keluarga hendaknya fleksibel karena banyak perbedaan antara anak
yang satu dengan yang lainnya. Suasana kelas yang sportif, demikian juga
suasana keluarga, menyebabkan timbulnya perilaku toleran terhadap adanya
perbedaan individu.
Faktor
terakhir yang mendukung suasana positif di sekolah dan di dalam keluarga ialah
kekohesifan, yaitu kesenangan anggota kelompok untuk tetap berada dalam
kelompoknya. Kekohesifan sekolah atau keluarga berkenaan dengan perasaan anak
terhadap seluruh teman sekolahnya dan semua warga sekolah atau semua anggota
keluarga. Anggota kelompok yang kehesif biasanya lebih loyal terhadap
kelompoknya dan lebih memperhatikan perasaan anggota kelompok, dalam hal ini
perasaan guru dan teman-temannya di sekolah atau perasaan semua anggota
keluarganya di rumah.
BAB
3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Humanisasi
pendidikan sangat diperlukan guna mewujudkan bangsa yang cerdas dan berakhlakul
mulia. Dengan demikian, dimungkinkan terbentuknya kehidupan sosial yang ideal,
yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya dengan
tepat untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin serta keselamatan dunia
akhirat.
B. Saran
·
Bagi guru di seluruh Indonesia, penulis
berharap kembangkanlah pengembangan karakteristik afektif pada siswa secara
sadar dan sistematis
·
Bagi para pembaca, penulis berpesan
bacalah buku atau makalah secara analitis, khususnya bagi calon guru.
·
Bagi lembaga pendidikan, terapkanlah
humanisasi pendidikan yang penerapannya mengarah pada pembentukan moralitas
siswa yang luhur, cerdas kognitif dan juga cerdas afektif dan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D, “
Humanisasi Pendidikan” Kata Pengantar “Prof. Suyanto, Ph.D. “Menemukan Kembali
Pendidikan Yang Manusiawi” Jakarta : PT. Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar