ARTIKEL
TENTANG
UNSUR-UNSUR
PEMBANGUN KARYA SASTRA
Disusun
oleh :
Yossi
Pratiwi
PGSD
3/3
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP
ISLAM BUMIAYU
TAHUN
2012/2013
Unsur-Unsur
Pembangunan Karya Sastra
A. Pengantar
Materi
unsur-unsur pembangunan karya sastra merupakan salah satu materi yang sangat
berguna bagi kita karena di dalamnya membicarakan tentang struktur karya sastra
sebagai sebuah karya fisik yang tentu saja terdiri atas beberapa hal yang harus
saling berkaitan. Struktur pembangunan karya fisik tersebut terdiri atas (1)
struktur luar atau yang dikenal dengan ekstrinsik, dan (2) struktur dalam atau
yang lebihh populer disebut sebagai struktur instrinsik.
Struktur
luar adalah segala macam unsure yang berada di luar karya sastra, tetapi
kehadirannya sangat mempengaruhi cerita yang disajikan, misalnya faktor sosial
politik, ekonomi dan kepengarangan, serta tata nilai yang dianut suatu
masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud dengan struktur dalam adalah unsur-unsur
yang membentuk karya sastra itu sendiri, baik pada prosa, puisi, maupun drama.
Kedua
struktur tersebut, baik struktur luar maupun struktur dalam, seperti penulis
sebutkan tadi, merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional saling
berkaitan. Artinya, tidak ada satu unsur yang lebih penting kehadirannya
dibandingkan dengan unsur lain atau tidak ada unsur yang kehadirannya hanya
sebagai pelengkap saja. Satu hal yang mesti kita pahami adalah bahwa struktur
yang ada dalam karya sastra haruslah dipandang dari satu sudut pandang
tertentu. Struktur ekstrinsik , misalnya dianggap sebagai bagian dari struktur
yang membangun sebuah karya fiksi bila struktur tersebut kita anggap mampu
memberikan pengaruh terhadap keseluruhan struktur fiksi tersebut, terutama jika
sebuah karya sastra yang sedang kita bahas dianggap sebagai mimesis atau cermin
kehidupan. Dengan kata lain, struktur ekstrinsik dapat dibicarakan ketika
memang sedang dikaitkan dengan karya sastra tertentu. Cerita pendek (cerpen)
Robohnya Suami Kami, misalnya memiliki peran moral yang tinggi yang
dilatarbelakangi falsafah hidup pengarangnya, yakni A.A Navis yang memang
sangat religious. Selain itu, cerpen tersebut juga sangat kental dengan
sosiokulutural Minangkabau yang menjadi latar belakang ceritanya.
Struktur
ekstrinsik ini pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap segi-segi yang
menyangkut segala aspek kehidupan yang ditampilkan dalam karya sastra,
pembahsannya pun akan terbatas pada struktur karya sastra secara umum. Hal ini
berbeda dengan unsur instrinsik yang karena sifatnya berada dalam suatu karya
sastra, pembahsannya dapat dilakukan secara lebih khusus. Untuk lebih jelasnya,
pembahasan berikut ini akan menyajikan unsure-unsur pembangunan karya sastra
yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri.
B. Unsur
Intrinsik Prosa
Sebuah karya sastra
berbentuk prosa dapat berupa novel, roman, novelet, cerpen dan beberapa istilah
lain, yang pasti berisi sebuah cerita tentang kehidupan, khusus untuk anak-anak
biasa dikelompokkan ke dalam cerita anak-anak. Sebuah karya prosa dibangun oleh
unsure-unsur yang saling mendukung, yaitu tokoh, tema, alur, latar, gaya, dan
pusat pengisahan. Secara garis besar, berikut ini adalah uraian tentang
unsur-unsur karya prosa.
1.
Tokoh
Tokoh penokohan dan
perwatakan merupakan salah satu hal yang kehadirannya amat penting. Bahkan,
sangat menentukan. Bukankah tidak mungkin sebuah karya fiksi hadir tanpa adanya
tokoh cerita atau tanpa adanya tokoh yang bergerak dari awal hingga akhir
cerita. Selain itu, keduanya juga merupakan satu struktur yang padu. Gambaran
tentang seorang tokoh dengan segenap perilakunya tentu saja sekaligus
menguraikan tentang gambaran perwatakannya. Novel Salah Asuhan karya Abdul
Muis, misalnya tidak ada berarti apa-apa kalau di dalamnya tidak ada Corie,
seorang gadis indo dan Hanafi, laki-laki pribumi yang terlalu kebarat-baratan.
Cara menghadirkan
perwatakan dan penokohan ini dapat dilakukan pengarang dengan dua cara, yakni
penggambaran secara analitik dan dramatic. Maksud dari penggambaran secara
analitik adalah penggambaran langsung yang dilakukan seorang pengarang tentang
watak atau karakter tokoh. Pengarang dapat menyebut bahwa tokoh tersebut,
seperti keras kepala, setia, penyabar, emosional, religius atau lainnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan penggambaran secara dramatik adalah
penggambaran perwatakan yang tidak dilakukan secara langsung oleh pengarang,
misalnya melalui pilihan nama atau tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh,
dan melalui dialog. Untuk lebih jelasnya, perhatikan dua kutipan berikut ini
a. Lasi
tetap tertunduk. Ingatannya melayang pada suatu malam ketika ia di dalam kamar
bersama Handarbeni. Malam yang menjengkelkan. Handarbeni benar-benar kehilangan
kelelakiannya meski obat-obatan telah diminumnya. Untuk menutupi kekecewaan
Lasi, akibat kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral janji ini itu dan
keesokan harinya semuanya akan beres. Tetapi malam itu Handarbeni tak memberi
janji apa pun kecuali tawaran yang membuat Lasi merasa terpojok, bahkan terhina[1].
b. “
Ya, Las. Kamu memang diperlukan Pak Ha terutama untuk pajangan dan gengsi,
“kata Bu Lanting suatu kali ketika Lasi berkunjung ke rumahnya di Cikini. “Atau
barangkali untuk menjaga citra kejantanannya di depan para sahabat dan relasi.
Ya, bagaimanapun juga suamimu itu seorang direktur perusahaan besar. Lalu
apakah kau tidak bisa menerimanya?” [2]
Kedua kutipan tersebut
sama-sama menceritakan karakter Handarbeni yang memperistrikan Lasi hanya
sebagai gengsi. Ia adalah lelaki impoten yang mengambil Lasi sebagai istrinya
semata-mata hanya ingin menjaga citra kejantanan di hadapan koleganya saja.
Nah, kita tentu dapat menebak kutipat manakah yang termasuk dalam penggambaran
secara analiti, bukan? Atau sebaliknya, kutipan manakah yang digambarkan oleh
Tohari sebagai pengarang Bekisar Merah sebagai penggambaran secara dramatik. Ya
kutipan (1) merupakan contoh penggambaran secara analtik karena dengan sarana
Lasi, Tohari langsung menyebut kelemahan Handarbeni, sedangkan kutipan (2)
merupakan contoh penggambaran secara dramatic karena kelemahan Handarbeni dapat
diperoleh melalui percakapan antara Bu Lanting dengan Lasi.
Dapatlah dijelaskan
bahwa seorang tokoh cerita biasanya mengembang suatu perwatakan tertentu yang
diberi bentuk dan isi oleh pengarang, seperti juga halnya dengan tokoh Handarbeni.
Perwatakan dapat diperoleh dengan membari gambaran mengenai tindak tanduk,
ucapan atau sejalan tidaknya antara pikiran dan perbuatan yang dilakukan si
tokoh. Suatu karakter harus ditampilkan dalam satu pertalian yang kuat sehingga
dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas
individualnya. Dalam konteks tokoh Handarbeni, pengarang sengaja menampilkannya
dengan konteks yang saling melengkapi. Handarbeni memiliki kelebihan material
yang sangat baik sehingga mampu menempatkan Lasi sebagai pajangan hidup karena
sebenarnya ia telah kehilangan kelakiannya.
2.
Tema
Menemukan tema sebuah
karya sastra harus dimulai dengan ditemukannya kejelasan tentang tokoh dan
perwatakannya serta situasi dan alur cerita yang ada. Tentu saja, terlebih dahulu
kita harus menjawab apakah motivasi tokoh, apakah problem yang dialaminya
sangat berat, dan bagaimana si tokoh mengatasi problem yang dihadapinya? Dengan
kata lain, tema atau sering juga dusebut gagasan sentral yang mejadi dasar
cerita dapat pula kita identifikasi melalui konflik sentral yang terjadi. Dalam
konteks yang lain, temapun dapat ditelusuri melalui beberapa variabel, yakni
(a) apa yang membuat suatu karangan tampak berharga?, dan (b) mengapa pengarang
menulis cerita tersebut? Bagaimankah cara menjawabnya? Tentu saja kita harus
membaca cerita secara cermat, bagian demi bagian, tidak melomat-lompat dan
jangan kita berharap dapat menemukan tema hanya dengan membaca ringkasannya.
3.
Alur
Alur merupakan salah
satu unsur penting dalam sebuah cerita. Dalam bahasa yang paling sederhana,
rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita dan dialami tokoh-tokohnya
dianamakan alur. Definisi yang lain juga menyebutkan bahwa alur atau plot
adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah
inter-relasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan fiksi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alur merupakan
perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita.
Baik tidaknya sebuah
alur ditemukan oleh beberapa hal, yakni (a) Apakah tiap peristiwa susul
menyusul secara logis dan alamiah? (b) Apakah setiap peristiwa sudah cukup
tergambar atau dimatangkan dalam peristiwa sebelumnya?, serta (c) Apakah
peristiwa yang diceritakan terjadi secara kebetulan atau dengan alasan yang
masuk akal dan dapat dipahami kehadirannya?
Pada umumnya, alur
cerita rekaan terdiri atas empat hal, yakni (a) alur buka, (b) alur tengah, (c)
alur puncak, dan (d) alur tutup. Alur buka merupakan bagian awal cerita ketika
situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan
dengan kondisi berikutnya. Alur tengah merupakan paparan cerita ketika kondisi
mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak. Alur puncak merupakan
paparan cerita ketika kondisi mulai titik puncak sebagai klimaks peristiwa.
Alur tutup merupakan akhir cerita ketika kondisi yang memuncak mulai
menampakkan pemecahan atau penyelesaian. Untuk mengkonkretkan pemahaman kita,
paragraph berikut dapat kita jadikan contoh untuk mengenali lebih jauhkeepat
alur tersebut.
Alur buka ditandai
dengan pendeskripsian kehidupan rumah tangga antara Lasi dengan Darsa yang
digambrakan bahagia. Darsa pekerja keras dan Lasi adalah seorang gadis cantik
yang sangat setia kepada suaminya. Satu kelemahan yang tampak pada kehidupan
mereka adalah belum adanya anak sebagai simbol kelengkapan rumah tangga. Alur
tengah ditandai suatu ketika Lasi harus menemukan kenyataan bahwa suaminya
menjadi tidak memiliki kelelakian lagi akibat terbanting dari pohon kelapayang
sedang disadapnya. Pengobatan secara medis pun akhirnya dihentikan karena Darsa
tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan dan cara yang ditempuh keluarga Lasi
adalah mempercayakan kepada Bunek, dukun pijat kampung untuk menangani penyakit
Darsa. Alur punck ditandai dengan adanya kenyataan bahwa Darsa menghamili
Sipah, anak Bunek. Lasi sam sekali tidak dapat menerima kenyataan ini hingga
akhirnya ia “terdampar” di kota metropolitan Jakarta hingga akhirnya ia
menemukan kehidupannya yang ganjil sebagai seorang wanita peliharaan belaka.
Alur tutup ditandai dengan hadirnya tokoh Kanjat yang diakui atau tidak sedikit
memberikan pencerahan kepada Lasi yang dalam kondisi psikolog tidak stabil
akibat perkawinannya yang ganjil. Kanjatlah yang menjadikan Lasi kembali
bergairah walaupun pada akhirnya pengarang tidak memberikan penyelesaian yang
tuntas terhadap cerita ini. [3]
Dalam contoh tersebut
tampak jelas bahwa gerakan alur dimulai dengan tanda Tanya di benak pembaca,
kemudian bergerak memancing keingintahuan, harapan, dan mungkin kecemasan.
Dalam perjalanan peristiwa Bekisar Merah, pembaca mulai bertanda tanya ketika
Darsa ternyata menghamili Sipah. Apakah yang terjadi pada Lasi? Apakah ia akan
menerima anak Darsa sebagai anaknya, atau lainnya. Dan akhirnya ditemukan
jawaban dalam peristiwa lainnya, yakni ketika Lasi ikut penumpang truk Pardi
dan Sapon ke kota Jakarta. Akhirnya, rasa penasaran pembaca pun terpenuhi dan
ada jawaban.
4.
Latar atau Landas Tumpu
Yang dimaksud dengan
latar atau landasa tumpu adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi yang
bentuknya dapat bermacam-macam, mungkin kampus, pedesaan, perkotaan, nama kota,
nama daerah, dan nama negara, serta segala tempat yang dapat diamati dengan panca
indra kita, misalnya suasan pasar malam. Biasanya latar ini muncul pada semua
bagian cerita, yakni latar social dan latar fiksi. Latar social meliputi
penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok social, seperti sikap, adat
istiadat, cara hidup dan bahasa yang digunakan. Sementara itu, yang disebut
latar fisik adalah tempat dala wujud fisiknya, yaitu segala sesuatu yang
membangun daerah tertentu.
5.
Gaya Penceritaan
Gaya penceritaan adalah
tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa agar menimbulkan efek-efek atau
penekanan tertentu. Tingkah laku berbahasa ini merupakan salah satu sarana
sastra yang amat penting. Tanpa bahasa, tanpa gaya bahasa, sastra tidak ada.
Kita tentu ingat bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan salah satu kegiatan
pengarang dalam membahasakan sesuatu kepada orang lain.
Dalam setiap kali
bertutur, khususnya tuturan tulis (bukan lisan), si pengarang selalu berupaya
untuk mempengaruhi pembacanya. Berbagai usaha dan tindakan perlu dilakukan agar
pembaca dapat tertarik sehingga dapat menyerap gagasan yang ingin
disampaikannya. Berbagai usaha dan tindakan tersebut dapat dilakukan dengan (a)
pemilihan materi bahasa, (b) pemakaian ulasan, dan (c) pemanfaatna gaya
bertutur, yang di dalamnyatermasuk kiasan atau perlambangan.
a. Pemilihan
materi bahasa
Maksud dari pemilihan
materi bahasa adalah segala upaya yang dilakukan seorang pengarang dalam
menyeleksi perbendaharaan bahasanya agar gagasan yang akan disampaikannya dapat
diterima dengan baik oleh para pembacanya. Dari sejumlah perbendaharaan bahasa
yang dimiliki pengarang untuk menyatakan perilaku tertentu, dipilihlah salah
satu yang menurutnya sangat mewakili pikiran dan gagasannya. Sebagai contoh,
novel Para Priyayi karya Umar Kayam, tampaknya akan mudah dibaca oleh pembaca
yang tahu pasti tentang bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa oleh Umar Kayam ini
tentu memiliki makna tersendiri karena latar cerita yang diangkat adalah budaya
masyarakat Jawa dengan segenap pengkelasan bahasanya.
b. Pemakaian
ulasan
Maksud dari pemakaian
ulasan adalah segala upaya pengarang untuk lebih menekankan gagasan yang
disampaikannya melalui ulasan-ulasan sehingga dapat diterima pembaca dengan
amat baik dan benar-benar sesuai dengan harapan pengarang. Ulasan yang
diberikan, anatara lain dapat berupa pemberian contoh-contoh,
perbandingan-perbandingan. Cara penyampaian ulasan ini tentu saja berbeda-beda
antara pengarang satu dengan lainnya. Pengarang-pengarang Balai Pustaka,
misalnya termasuk dalam pengarang yang senang memberikan nasihat
berpanjang-panjang tentang moral kepada pembacanya. Sementara itu,
pengarang-pengarang perempuan, seperti Ayu Utami, lebih condong menyisipkan
ulasannya tentang kesamaan hak laki-laki dan perempuan dalam percakapan
tokoh-tokohnya. Kedua karakter kepengarangan ini memang berbeda, tetapi tujuan
yang ingin disampaikan adalah sama, yakni memberikan penekanan kepada gagasan
yang melatarbelakangi karya yang dihasilkannya.
c. Pemanfaatan
gaya bertutur
Dalam setiap karya
sastra, maslah gaya penyampaian sering disebut dengan gaya bahasa. Hal inilah,
salah satunya yang membedakan karakteristik seorang pengarang dengan pengarang
lainnya. Dengan kata lain, gaya penyampaian ini amat menentukan visi kepengarangan
seorang sastrawan. Seorang pengarang dikatakan sangat melankolis, misalnya
manakala pembaca menemukan fakta bahwa karya-karya sastra yang dihasilkannya
selalu romantis dan penuh dengan rangkaian kata yang amatindah. Sebaliknya,
hubungan antar kata yang maknanya penuh dengan tanda Tanya besar lagi
pembacanya, tentu akan mengiring pembaca pada penyebutan bahawa pengarang
adalah seorang sastrawan dengan gaya absurd atau terus terang.
6.
Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan adalah
posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya atau dari mana seorang
pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Dari
titik pandangan pengarang inilah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami
temannya.
Pusat pengisahan dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti (a) pengarang sebagai tokoh cerita,
(b) pengarang sebagai tokoh sampingan, (c) pengarang sebagai orang ketiga, dan
(d) pengarang sebagai pemain atau narator.
a. Pengarang
sebagai tokoh cerita
Pengarang sebagai tokoh
cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa, khususnya yang
menyangkut diri tokoh. Tokoh utama sebagai pemapar cerita pada umumnya memiliki
kesepakatan yang luas untuk menguraikan dan menjelaskan tentang dirinya, tentang
perasaan dari pikirannya, tetapi tidak banyak yang diketahui atau dapat
diceritakannya tentang peristiwa yang berlangsung pada tempat lain di saat
pelaku sendiri tidak berada disana. Oleh karena itu, tipe cerita dengan sudut
pandang pengarang sebagai tokoh cerita lebih banyak digunakan pengarang dalam
novel-novel psikologi. Pada umunya, pengarang langsung menggunakan tokoh “aku”
untuk mewakili gagasannya.
b. Pengarang
sebagai tokoh sampingan
Orang yang bercerita
dalam pusat pengisahan jenis ini adalah seorang tokoh sampingan yang
menceritakan peristiwa lain secara bertalian, khususnya dengan tokoh utamanya.
Sesekali peristiwa yang disampaikan juga menyangkut tentang dirinya sebagai
pencerita. Yang harus kita bedakan dengan pusat pengisahan pengarang sebagai
tokoh cerita yang pertama tadi, dalam pusat pengisahan ini sapaan “aku” juga
digunakan, tetapi ia juga menggunakan orang ketiga yang mengamati peristiwa
dari jauh tentang tokoh utama yang sedang diceritakan.
c. Pengarang
sebagai orang ketiga
Pengarang sebagai orang
ketiga yang berada diluar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai
narator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana dan pikiran
para pelaku cerita. Pusat pengisahan ini pada dasarnya dapat dibagi dalam dua
jenis. Pertama, pengarang hanya mengamati satu pelak saja, biasanya tokoh
utama, kemudian baru mencari hubungannya dengan tokoh lain. Kedua, pengarang
bertindak sebagai pengamat yang sama sekali netral dan menggambarkan semua
karakter pelaku yang ada dalam cerita.
d. Pengarang
sebagai pemain atau narator
Pusat pengisahan ini
menempatkan seorang pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan
sekaligus sebagai narator yang menceritakan orang lain selain tentang dirinya.
Suatu ketika ia terlibat dalam cerita, tetapi pada saat yang lain ia pun
berlaku sebagai seorang pengamat yang berada di luar cerita.
Berdasarkan paparan
keempat jenis pusat pengisahan tersebut, dapat diperoleh simpulan bahwa pada
dasarnya, pusat pengisahan tersebut hanya memiliki dua jenis, yakni pencerita
yang ikut bermain dan pencerita yang tidak ikut bermain. Keduanya tentu ada
kelebihan dan kelemahannya. Yang jelas, jika pencerita menempatkan diri sebagai
pengamat, tentu dapat leluasa dalam menceritakan segaka hal yang terjadi dan
dapat menceritakan segenap watak tokoh dengan serempak.
C. Unsur
Intrinsik Puisi
Tidak seperti pada prosa, unsure-unsur
intrinsic pada puisi relative lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena hakikat
puisi adalah karya sastra yang padat makna dan memiliki sifat seni yang
dominan.
Berdasarkan hakikat puisi tersebut maka
unsur yang terpenting dalam puisi adalah adanya unsur estetis atau unsur
keindahan dan unsur arti atau makna. Kedua unsur tersebut diberi istilah unsur
estetik bunyi dan unsur estetik satuan atau arti. Secara singakat uraiannya
adalah sebagai berikut :
1. Unsur-unsur
Estetik Bunyi
Unsur-unsur estetik bunyi terdiri atas
persajakan, kiasan bunyi, dan orkestrasi. Unsur-unsur tersebut saling
berjalinan untuk memperoleh ekspresivitas secara intensif. Bahkan, unsur-unsur
keputusan bunyi berjalinan erat dengan unsur-unsur satuan arti untuk
mendapatkan nilai seni atau nilai estetik sebanyak-banyaknya. Akan tetapi,
dalam uraian ini pembahasan keduanya kita pisahkan.
a. Persajakan
Sajak adalah ulangan bunyi, baik berupa aliterasi
maupun asonan. Sajak bisa terdapat pada awal, tengah, dan akhir periode
atau baris. Pada puisi lama ada pola-pola sajak tertentu yang mengikat,
terutama pola sajak akhir. Perhatikan persajakan pantun/puisi berikut ini.
Berakit rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Setiap baris diawali dengan persamaan
bunyi : Be-Be-Ber-Ber. Sajak tengah terdapat persamaan bunyi it pada
baris kesatu dan ketiga, persamaan bunyi ang pada baris kedua dan
keempat. Demikian pula akhir baris ada persamaan bunyi ke dan an.
b. Orkestrasi
Orkestrasi adalah bunyi musik pada
puisi, kombinasi satuan-satuan estetika bunyi, aliterasi dan asonansi di awal,
tengah, dan akhir. Contoh :
Bulan Terang
Sunyi lengang alam terbentang
Udara jernih sejuk tenang
Di langit mengerlip ribuan bintang
Bulan memancar caya senang[4]
Unsur orkestrasi yaitu pada kata :
lengang, terbentang, tenang, di langit, mengerlip.
2. Unsur-unsur
Estetik Satuan Arti
Unsur-unsur ini berupa kata, frase, dan
kalimat yang dipilih dan disusun untuk mendapatkan nilai estetik. Dalam proses
penciptaan puisi, penyair sering kali mengganti kata-kata untuk mendapatkan
pilihan yang tepat. Pilihan yang tepat harus sesuai dengan unsur bunyi, unsur
arti, suasana, tempat terjadinya peristiwa, dan konsep keindahan. Perhatikan
contoh berikut
Habis
kikis
Segala
cintaku hilang terbang
Pulang
kembali aku padamu
Seperti
dulu[5]
Frase habis kikis sebenarnyadapat
diganti dengan habis larut, namun tidak terdapat persamaan bunyi pada frase
habis larut. Demikian pula dengan frase hilang terbang yang memiliki arti
dengan frase hilang musnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Hj.Yusi
Rosdiana, dkk. “Bahasa dan Sastra Indonesia di SD”. Penerbit : Universitas
Terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar