Senin, 07 Januari 2013

Artikel Pendidikan Karakter



Apa itu Karakter ??


                                                                  
Firman Alloh SWT dalam Qs. Al-A’raf : 96 yang artinya berbunyai : “ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
Terjadinya tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, antar warga yang satu dengan yang lain, penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas antar pelajar atau mahasiswa, tindakan kekerasan peserta didik senior terhadap yuniornya, kekerasan dalam rumah tangga, menjamurnya perbuatan korupsi dikalangan pejabat, dan berbagai tindak criminal lainnya, semua itu telah mengindikasi tergusurnya nilai-nilai luhur keagamaan dari bangsa ini, dan jika dibiarkan, hal ini akan menghantarkan bangsa ini menuju kehancuran. Itulah yang menjadikan agama di Indonesia kini telah kehilangan etiknya, dan dalam konteks pendidikan, pendidikan telah hilang karakternya.
Bertiitk toalk dari realitas diatas, saya sebagai penulis menulis artikel ini bertujuan mengungkapkan secara deskriptif konsep pendidikan berkarakter berbasis iman dan taqwa yang dapat dilaksanakan di sekolah. Pendidikan karakter berbasis iman dan takqwa merupakan derivasi dari rumusan tujuan pendidikan nasional yang terkadung dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, sekaligus sebagai bagian dari kegiatan preventif dan kuratif terhadap fenomena saat ini dan antisipasi di masa mendatang. Disadari bahwa perkembangan dunia global bukan hanya menghasilkan produktivitas manusia dalam mempermudah cara hidupnya, namun telah berakibat buruk terhadap pola dan tata hubungan kemanusiaan. Misalnya kehadiran televisi di satu sisi telah member nilai tambah informasi dan hiburan kepada masyarakat, namun tayangan televisi telah pula mendorong tumbuhnya tindakan destruktif di masyarakat. Bahkan dari berbagai kemajuan muncul dekadensi moral yang mengglobal juga saat itu.
Disisi lain, terdapat 3 hal yang melatar belakangi pentingnya program peningkatan iman dan taqwa. Pertama, dalam era globalisasi terdapat pengaruh negative media elektronik dan media cetak terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, kehidupan belum/tidak kondusif bagi upaya peningkatan iman dan taqwa. Ketiga, sebagian peserta didik (terutama di kota-kota besar) berperilaku menyimpang(perkelaian pelajar, tawuran, penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, dan kenakalan remaja lainnya).
Upaya peningkatan iman dan taqwa bukan hanya menjadi tanggungjawab guru Pendidikan Agama Islam (PAI) saja, tetapi menjadi tanggungjawab bersama seluruh komponen pendidikan di sekolah, termasuk stakeholder pendidikan. Upaya peningkatan iman dan taqwa sebagai core value pendidikan nasional ini merupakan perwujudan dari gagasan pendidikan karakter.
Ada 5 strategi dalam rangka peningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik melalui pelaksanaan pendidikan karakter disekolah, yakni (1) integrasi iman dan taqwa dalam visi, misi, tujuan, dan strategi sekolah, (2) optimalisasi pelaksaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, (3) pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler berwawasan iman dan taqwa, (4) pembentukan school culture yang mendukung peningkatan kualitas iman dan taqwa, dan (5) melaksanakan kerja sama antar sekolah dengan orang tua peserta didik.





BAB 2
PEMBAHASAN
Kalimat di depanlah yang dipakai Muhammad Fauzil Adhami ketika beliau mengawali pembahasan tentang membangun karakter positif pada anak dalam salah satu buku beliau, “ Positive Parenting”. Kita seolah-olah disuguhi gambaran detail tentang sosok pribadi yang berkarakter sanagt kuat melalui kalimat yang padat berisi di atas. Sosok pribaddi yang berkarakter itu tidak hanya cerdas lahir batin, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menjalankan sesuatu yang dipandangannya benar dan mampu membuat orang lain memberikan dukungan terhadap apa yang dijalankan tersebut.
Dengan modal seperti itu, seorang yang berkarakter kuat akan mudah mewarnai dunia. Dia anggap sebagai pemimpin bagi orang-orang di sekelilingnya. Setiap orang yang bertemu dan berinteraksi dengannya akn segera terpengaruh dan mengkuti apa yang dititahkannya. Jika yang dititahkannya adalah kejahatan, dunia akan porak poranda oleh kejahatan-kejahatan yang dilakukan olehnya dan pengikutnya.
Begitu besarnya pengaruh karakter dalam kehidupan. Namun, sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya kita memahami arti dari karakter tersebut. Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, Charasssein, yang artinya “mengukir”. Dari arti bahasa ini, saya ingin menunjukkan kepada pembaca tentang apa yang dimaksuud dengan karakter.
Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau arus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. Sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya. Ini berbeda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas permukaan benda. Karena itulah, sifatnya juga berbeda dengan ukiran, terutama dalam hal ketahanan dan kekuatannya dalam menghadap tantangan waktu. Tulisan dan gambar akan mudah hilang, sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sampai-sampai orang tidak akan pernah menyangka kalau di atas benda yang berada di hadapannya itu pernah terdapat tulisan dan gambar.
Contoh karakter
Sebuah pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan, yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan disebut sebagai karakter.
Kita sering mendapati kenyataan bahwa seorang anak yang usia kecilnya dikenal sebagai anak yang rajin beribadah, hidupnya teratur, disiplin menjaga waktu dan penampilan, serta taat terhadap kedua orang tuanya, namun setelah sekian lama berpisah dan ketika bertemu dengannya di usia dewasa, kita tidak mendapati sifat-sifat yang pernah melekat diusia kecilnya itu. Sebaliknya, kita melihat bahwa sifatnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan suara azannya terdengar di pengeras mesjid, dating ke mesjid untuk beribadah saja sudah tak pernah lagi. Apakah yang sebenarnya terjadi ?
Rupanya perjalanan hidup telah mengubah semua sifat baiknnya it. Mungkin factor ekonomi, keluarga, lingkungan tempat dimana ia tinggal, dan pendidikan yang dia dapat dari orang-orang dewasa di sekelilingnya telah menjadi penyebab utama perubahan drastinya. Ini tentu kontras sekali dengan gambaran orang berkarakter seperti telah dijelaskan di atas.
Sebaliknya, banyak juga kita temui orang yang memiliki sifat yang buruk, dan sifat buruknya itu tidak bisa berubah walaupun ribuan nasihat dan peringatan sudah diberikan kepadanya. Seolah-olah tidak ada satu orangpun di dunia ini yang mampu mempengaruhi dirinya. Barang kali ia bisa sedikit berubah sesaat setelah menerima nasihat, peringatan atau ancaman. Namun, kebiasaannya tersebut akan kembali lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Inilah karakter. Dia melekat kuat dan sulit untuk diubah.
Bisakah karakter dibentuk ?
Sebuah pertanyaan menarik. Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan : sejauh mana pengaruh gen dalam menentukan karakter seseorang? Jika karakter merupakan seratus persen turunan dari orang tua, tentu saja karakter tidak bisa dibentuk. Ia merupakan bawaan lahir seseorang. Namun, jika gen hanyalah salah satu factor pembentuk karakter, kita akan meyakini bahwa karakter bisa dibentuk semenjak anak lahir. Orang tualah yang akan memiliki peluang paling besar dalam pembentukan karakter anak. Orang tua disini bisa dimaknai secara gentis, yakni orang tua kandung, atau orang tua dalam arti yang lebih luas, seperti orang-orang dewasa yang berada di sekeliling anak dan memberikan peran yang berarti dalam kehidupan anak.
Dalam berbagai literatur, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang. Gen hanya merupakan salah satu factor penentu saja. Namun, jangan pula meremehkan factor genetis ini. Meskipun ia bukan satu-satunya penentu, ia adalah penentu pertama yang melekat pada diri anak. Jika tidak ada proses berikutnya yang memiliki pengaruh kuat, boleh jadi faktor genetis inilah yang akan menjadi karakter anak.
Dalam islam, faktor genetis ini juga diakui keberadaannya. Salah satu contohnya adalah pengkuan islam tentang alasan memilih calon istri atas dasar keturunan. Rosul pernah bersabda yang intinnya menyebutkan bahwa kebanyakan orang menikahi seorang wanita karena faktor rupa, harta, keturunan, dan agama. Meskipun islam mengatakan bahwa yang terbaik adalah menikahi wanita karena perkembangan agamanya, namun tetap saja bahwa islam mengakui adanya kecenderungan bahwa orang menikah karena ketiga faktor selain agama itu. Boleh jadi orang yang menikahi wanita karena pertimbangan keturunan disebabkan oleh adanya keinginan memperoleh kedudukan dan kehormatan sebagaimana orang tua si perempuan. Atau bisa juga karena ingin memiliki keturunan yang mewarisi sifat-sifat khas orang tua istrinya.

Bisakah Karakter Diubah ?
Ini pertanyaan yang sulit. Jika karakter diartikan sebagaimana bahasa aslinya, yakni charassein, tentu saja sangat sulit diubah. Karakter orang pemberani akan sulit diubah menjadi penakut atau pengecut. Demikian juga karakter lembut akan sulit berubah menjadi kasar.
Namun, jika menilik bahwa karakter bisa dibangun atau dibentuk, ia pasti bisa diubah. Sebab, pembangun dan pembentukan itu sendiri sejatinya adalah perubahan. Hanya saja, jika bangunan itu adalah bangunan yang kokoh, butuh waktu lama dan energy yang tidak sedikit untuk mengubahnya. Berbeda dengan pembangunan tidak permanen yang menggunakan bahan-bahan rapuh, maka mengubahnya pun akan lebih cepat dan mudah. Tetapi, karakter bukanlah sesuatu yang mudah diubah. Sebab, secara bahasa saja, karakter sudah memiliki makna “sulit diubah”. Jika sesuatu itu mudah diubah, ia bukanlah karakter. Mungkin saja ia hanyalah sifat, sikap, pandangan, pendapat, atau pendirian.
Dengan menyadari bahwa karakter adalah sesuatu yang sangat sulit diubah, maka tidak ada pilihan lain bagi orang tua kecuali membentuk karakter anak sejak usia dini. Jangan sampai orang tua kedahuluan oleh yang lain, lingkungan misalnya. Ini sangat berbahaya. Orang tua akan menjadi pihak pertama yang kecewa jika karakter yang dibentuk orang lain itu ternyata adalah karakter yang buruk. Sementara, mengubahanya setelah karakter terbentuk merupakan sebuah pekerjaan yang tidak ringan. Butuh terapi panjang. Butuh konsistensi. Butuh biaya. Butuh waktu, pikiran, serta energi yang sangat banyak.
Cukupkah Membentuk Karakter dengan Perintah dan Larangan ?
Sebagian orang tua merasa cukup dengan menerapkan perintah dan larangan yang ketat untuk membentuk karakter anak. Dengan perintah dan larangan yang banyak dan sering, lama-lama seorang anak akan terbiasa dengannya dan terbentuk karakternya. Inilah anggapan yang paling umum diyakini oleh para orang tua. Akibatnya, hari-hari mereka di rumah dipenuhi dengan perselisihan dengan anak. Sebab ternyata, anak tak kunjung mengerti kemauan orang tuanya.
Perlu dimengerti bahawa perintah dan larangan adalah bagian yang sangat kecil dalam upaya pembentukan karakter. Perintah dan larangan hanya bantuan sederhana dalam menolong anak untuk melakukan kebaikan dan menghindari kesalahan. Hal pertama yang paling penting sesungguhnya adalah menanamkan kesadaran kepada anak tentang pentingnya sebuah kebaikan. Sebagai contoh kecil, anak perlu tahu mengapa ia harus membuang sampah di tempatnya. Anak juga perlu tahu mengapa ia harus membenci perilaku malas membuang sampah sembarangan. Anak juga harus sadar dan paham akan hal ini, jika orang tua ingin menanamkan membuang sampah pada tempatnya ini sebagai karakter anak.
Setelah proses penyadaran dan pemahaman berjalan, anak dibimbing untuk melakukannya dalam tindakan nyata. Harus tertanam dalam diri anak bahwa setiap kebaikan yang ia ketahui tidak aka nada nilainya di hadapan Alloh dan manusia jika tidak diwujudkan dalam tindakan nyata, orang tua harus segera mengambil langkah utnuk segera memberikan pertolongan dan dukungan kepada anak untuk mewujudkannya. Bentuk pertolongan yang dimaksdu adalah meneladankan kebaikan-kebaikan tersebut.
Kesulitan yang biasa dihadapi oleh anak-anak adalah menerjemahkan konsep kebaikan yang abstrak ke dalam tindakan. Misalnya, seorang anak diberi pengertian oleh orang tuanya bahwa ia harus menghormati setiap orang, baik temannya sendiri atau teman orang tuanya. Sikap hormat di mata anak adalah sesuatu yang sangat abstrak, bahkan bagi kita yang sudah dewasa sekalipun.
Konsep abstrak ini harus dikonkretkan terlebih dahulu agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Anak harus diajari tentang bagaimana wujud penghormatan kepada teman sebaya, tamu, tetangga, dan kepada setiap orang ketika ia berpapasan di halaman. Demikian juga dengn cara-cara menghormati orang lain di sekolah atau di tempat bermain. Susunlah cara-cara konkret itu dan latihankanlah kepada anak kita bicarakan hal ini secara lebih terperinci dalam bab-bab berikutnya.
Selain memberikan pemahaman dan melatihkannya dalam bentuk tindakan, orang tua juga harus menyiadakan waktu untuk mengintrospeksikan perilaku anak. Introspektif ini penting, karena bisa saja terjadi situasi di mana anak harus membuat keputusan atas hal baru yang belumdipahamkandan dilatihkan. Ini bisa disebabkan oleh situasi eksternal maupun internal anak. Situasi eksternal biasanya berupa keadaan yang betul-betul baru. Adapun situasi internal bisa berupa pengambilan keputusan yang berbeda, yang dilakukan oleh anak karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Muhasabah atau intropeksi akan menuntun kita untuk mereview setiap aktivitas yang telah dilakukan anak selama seharian. Berapa kegiatan yang merupakan perilaku baik dan beberapa aktivitas yang merupakan perilaku buruk? Adakah keputusan-keputusan baru yang di ambil oleh anak, dan apakah hal itu merupakan bentuk kebaikan atau keburukan? Hasil dari muhasabah ini akan menjadi pemahaman yang baru bagi anak. Dengan pemahaman baru yang dimilikinya, anak akan melakukan tindakan-tindakan berikutnya. Dari sinilah makna penting sebuah musahabah yang berfungsi untuk merefleksikan amalan atau tindakan anak dalam keseharian. Sedemikian penting makna muhasabah ini, sehingga tokoh besar seperti Umar Bin Khattab R.A berhikmat, “ Haasibuuu qabla an tuhaasabuu” yang artinya “hisab dirimu sebelum engkau dihisab”. Maksudnya, hitung atau evaluasilah amalanmu sebelum amalan itu dihisab kelak di Yaumul Hisab (Hari Perhitungan).
Bekal Minal Yang Harus Disiapkan Oleh Orang Tua
Man Yazra,’ yahshud. ‘Siapa menanam, pasti mengetam’. Inilah yang harus kita pegang. Kalau kita ingin mendapatkan sesuatu, harus ada upaya yang kita lakukan untuk memperoleh. Jangan sampai kita membiarkan diri kita hanya dipenuhi dengan angan-angan dan keinginan. Jangan sampai membiarkan diri untuk tidak mendapatkan apa-apa dari yang kita impikan tersebut. Itu adalah tindakan bodoh. Sebab, alam raya ini diciptakan Alloh untuk kita demi kelangsungan hidup kita. Tinggal bagaimana kita melakuakn upaya agar alam memberikan dukungan kepada keinginan kita.
Impian yang kuat adalah moral utama. Namun tindakan yang nyata adalah penentu keberhasilan. Orang tua yang ingin anaknya memilki karakter baik harus melakukan upaya-upaya untuk menuju kesana. Ia harus menyediakan waktu, energi, pikiran, bahkan mungkin materi untuk mewujudkan. Evaluasilah, sudah berapa jam waktu yang Anda luangkan untuk mendidik anak dirumah? Sudah berapa banyak energy dan kepedulian yang Anda berikan berikan setiap harinya? Bersediakah Anda “ diganggu” anak ketika sore hari dalam kondisi lelah sepulang kerja? Seberapa jauh Anda mengelola waktu-waktu potensial seperti waktu magrib sampai isya untuk melakukan pendidikan karakter? Sudah berapa dalam ilmu dan pemahaman Anda mengenai pembangunan karakter positif anak? Berapakah jenis buku yang berkaitan dengan pendidikan karakter yang sebuah And abaca dan miliki?
Ada banyak pertanyaan yang bisa kita jadikan stimulant untuk mengungkapkan dan menemukan jawaban seberapa banyak bekal yang sudah kita siapkan untuk memenuhi sebuah keinginan berupa tumbuhnya karakter positif dalam diri anak-anak kita. Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah beberapa di antaranya.
Saya ingin saya ingin menegaskan disini bahwa bekal paling sederhana yang harus segera Anda siapkan adalah waktu. Mungkin satu atau setengah jam setiap hari untuk memberikan pemahaman, melatihkan, tindakan, dan melakukan muhasabah. Tanpa persediaan waktu yang rutin setiap hari, kita akan sulit melembagakan program pembimbingan kepada anak. Padahal, pelembagaan sanagt diperlukan disini agar program bisa berjalan dengan sistematis, menjadi bagian dari irama hidup masing-masing pribadi dalam keluarga. Inilah pentingnya penyediaan waktu.
Bekal utama berikutnya adalah visi. Sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam proses pembangunan karakter anak, orang tua harus memiliki visi yang jelas. Karakter seperti apakah yang akan ditanamkan kepada anak-anak? Inilah pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu untuk menemukan visi pendidikan karakter pada orang tua. Jika visi ini sudah terbentuk, penentuan langkah berikutnya menjadi lebih mudah. Sebab, sudah ada arah yang jelas untuk dituju. Semua program dan kegiatan akan merujuk kesana.
Sifat-sifat dasar yang orang tua inginkan agar tumbuh pada diri anak perlu dirumuskan secara jelas. Kemudian, untuk mendukung terbentuknya sifat-sifat dasar ini, harus ditentukan sifat-sifat positif yang berkaitan dengan sifat dasar yang hendak dibangun. Sebab, banyak sifat dasar yang sesungguhnya dibangun oleh beberapa sifat pendukung yang menjadi pilarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar