Apa
itu Karakter ??
Firman
Alloh SWT dalam Qs. Al-A’raf : 96 yang artinya berbunyai : “ Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
Terjadinya
tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, antar warga yang satu dengan
yang lain, penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas
antar pelajar atau mahasiswa, tindakan kekerasan peserta didik senior terhadap
yuniornya, kekerasan dalam rumah tangga, menjamurnya perbuatan korupsi
dikalangan pejabat, dan berbagai tindak criminal lainnya, semua itu telah
mengindikasi tergusurnya nilai-nilai luhur keagamaan dari bangsa ini, dan jika
dibiarkan, hal ini akan menghantarkan bangsa ini menuju kehancuran. Itulah yang
menjadikan agama di Indonesia kini telah kehilangan etiknya, dan dalam konteks
pendidikan, pendidikan telah hilang karakternya.
Bertiitk
toalk dari realitas diatas, saya sebagai penulis menulis artikel ini bertujuan
mengungkapkan secara deskriptif konsep pendidikan berkarakter berbasis iman dan
taqwa yang dapat dilaksanakan di sekolah. Pendidikan karakter berbasis iman dan
takqwa merupakan derivasi dari rumusan tujuan pendidikan nasional yang
terkadung dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003,
sekaligus sebagai bagian dari kegiatan preventif dan kuratif terhadap fenomena
saat ini dan antisipasi di masa mendatang. Disadari bahwa perkembangan dunia
global bukan hanya menghasilkan produktivitas manusia dalam mempermudah cara
hidupnya, namun telah berakibat buruk terhadap pola dan tata hubungan
kemanusiaan. Misalnya kehadiran televisi di satu sisi telah member nilai tambah
informasi dan hiburan kepada masyarakat, namun tayangan televisi telah pula
mendorong tumbuhnya tindakan destruktif di masyarakat. Bahkan dari berbagai
kemajuan muncul dekadensi moral yang mengglobal juga saat itu.
Disisi
lain, terdapat 3 hal yang melatar belakangi pentingnya program peningkatan iman
dan taqwa. Pertama, dalam era
globalisasi terdapat pengaruh negative media elektronik dan media cetak
terhadap kehidupan masyarakat. Kedua,
kehidupan belum/tidak kondusif bagi upaya peningkatan iman dan taqwa. Ketiga, sebagian peserta didik (terutama
di kota-kota besar) berperilaku menyimpang(perkelaian pelajar, tawuran,
penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, dan kenakalan remaja lainnya).
Upaya
peningkatan iman dan taqwa bukan hanya menjadi tanggungjawab guru Pendidikan
Agama Islam (PAI) saja, tetapi menjadi tanggungjawab bersama seluruh komponen pendidikan
di sekolah, termasuk stakeholder pendidikan.
Upaya peningkatan iman dan taqwa sebagai core
value pendidikan nasional ini merupakan perwujudan dari gagasan pendidikan
karakter.
Ada
5 strategi dalam rangka peningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik
melalui pelaksanaan pendidikan karakter disekolah, yakni (1) integrasi iman dan
taqwa dalam visi, misi, tujuan, dan strategi sekolah, (2) optimalisasi
pelaksaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, (3) pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler berwawasan iman dan taqwa, (4) pembentukan school culture yang
mendukung peningkatan kualitas iman dan taqwa, dan (5) melaksanakan kerja sama
antar sekolah dengan orang tua peserta didik.
BAB
2
PEMBAHASAN
Kalimat
di depanlah yang dipakai Muhammad Fauzil Adhami ketika beliau mengawali
pembahasan tentang membangun karakter positif pada anak dalam salah satu buku
beliau, “ Positive Parenting”. Kita seolah-olah disuguhi gambaran detail
tentang sosok pribadi yang berkarakter sanagt kuat melalui kalimat yang padat
berisi di atas. Sosok pribaddi yang berkarakter itu tidak hanya cerdas lahir
batin, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menjalankan sesuatu yang
dipandangannya benar dan mampu membuat orang lain memberikan dukungan terhadap
apa yang dijalankan tersebut.
Dengan
modal seperti itu, seorang yang berkarakter kuat akan mudah mewarnai dunia. Dia
anggap sebagai pemimpin bagi orang-orang di sekelilingnya. Setiap orang yang
bertemu dan berinteraksi dengannya akn segera terpengaruh dan mengkuti apa yang
dititahkannya. Jika yang dititahkannya adalah kejahatan, dunia akan porak
poranda oleh kejahatan-kejahatan yang dilakukan olehnya dan pengikutnya.
Begitu
besarnya pengaruh karakter dalam kehidupan. Namun, sebelum berbicara lebih
jauh, ada baiknya kita memahami arti dari karakter tersebut. Secara bahasa,
karakter berasal dari bahasa Yunani, Charasssein, yang artinya “mengukir”. Dari
arti bahasa ini, saya ingin menunjukkan kepada pembaca tentang apa yang
dimaksuud dengan karakter.
Sifat
utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah usang
tertelan waktu atau arus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan
menghilangkan benda yang diukir itu. Sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya.
Ini berbeda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas
permukaan benda. Karena itulah, sifatnya juga berbeda dengan ukiran, terutama
dalam hal ketahanan dan kekuatannya dalam menghadap tantangan waktu. Tulisan
dan gambar akan mudah hilang, sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali.
Sampai-sampai orang tidak akan pernah menyangka kalau di atas benda yang berada
di hadapannya itu pernah terdapat tulisan dan gambar.
Contoh
karakter
Sebuah
pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan, yang melekat pada diri
seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan disebut sebagai karakter.
Kita
sering mendapati kenyataan bahwa seorang anak yang usia kecilnya dikenal
sebagai anak yang rajin beribadah, hidupnya teratur, disiplin menjaga waktu dan
penampilan, serta taat terhadap kedua orang tuanya, namun setelah sekian lama
berpisah dan ketika bertemu dengannya di usia dewasa, kita tidak mendapati
sifat-sifat yang pernah melekat diusia kecilnya itu. Sebaliknya, kita melihat
bahwa sifatnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan suara
azannya terdengar di pengeras mesjid, dating ke mesjid untuk beribadah saja
sudah tak pernah lagi. Apakah yang sebenarnya terjadi ?
Rupanya
perjalanan hidup telah mengubah semua sifat baiknnya it. Mungkin factor
ekonomi, keluarga, lingkungan tempat dimana ia tinggal, dan pendidikan yang dia
dapat dari orang-orang dewasa di sekelilingnya telah menjadi penyebab utama
perubahan drastinya. Ini tentu kontras sekali dengan gambaran orang berkarakter
seperti telah dijelaskan di atas.
Sebaliknya,
banyak juga kita temui orang yang memiliki sifat yang buruk, dan sifat buruknya
itu tidak bisa berubah walaupun ribuan nasihat dan peringatan sudah diberikan
kepadanya. Seolah-olah tidak ada satu orangpun di dunia ini yang mampu
mempengaruhi dirinya. Barang kali ia bisa sedikit berubah sesaat setelah
menerima nasihat, peringatan atau ancaman. Namun, kebiasaannya tersebut akan
kembali lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Inilah karakter. Dia melekat
kuat dan sulit untuk diubah.
Bisakah karakter
dibentuk ?
Sebuah
pertanyaan menarik. Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu
menjawab pertanyaan : sejauh mana pengaruh gen dalam menentukan karakter
seseorang? Jika karakter merupakan seratus persen turunan dari orang tua, tentu
saja karakter tidak bisa dibentuk. Ia merupakan bawaan lahir seseorang. Namun,
jika gen hanyalah salah satu factor pembentuk karakter, kita akan meyakini
bahwa karakter bisa dibentuk semenjak anak lahir. Orang tualah yang akan
memiliki peluang paling besar dalam pembentukan karakter anak. Orang tua disini
bisa dimaknai secara gentis, yakni orang tua kandung, atau orang tua dalam arti
yang lebih luas, seperti orang-orang dewasa yang berada di sekeliling anak dan
memberikan peran yang berarti dalam kehidupan anak.
Dalam
berbagai literatur, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang
didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang. Gen
hanya merupakan salah satu factor penentu saja. Namun, jangan pula meremehkan
factor genetis ini. Meskipun ia bukan satu-satunya penentu, ia adalah penentu
pertama yang melekat pada diri anak. Jika tidak ada proses berikutnya yang
memiliki pengaruh kuat, boleh jadi faktor genetis inilah yang akan menjadi
karakter anak.
Dalam
islam, faktor genetis ini juga diakui keberadaannya. Salah satu contohnya
adalah pengkuan islam tentang alasan memilih calon istri atas dasar keturunan.
Rosul pernah bersabda yang intinnya menyebutkan bahwa kebanyakan orang menikahi
seorang wanita karena faktor rupa, harta, keturunan, dan agama. Meskipun islam
mengatakan bahwa yang terbaik adalah menikahi wanita karena perkembangan
agamanya, namun tetap saja bahwa islam mengakui adanya kecenderungan bahwa
orang menikah karena ketiga faktor selain agama itu. Boleh jadi orang yang
menikahi wanita karena pertimbangan keturunan disebabkan oleh adanya keinginan
memperoleh kedudukan dan kehormatan sebagaimana orang tua si perempuan. Atau
bisa juga karena ingin memiliki keturunan yang mewarisi sifat-sifat khas orang
tua istrinya.
Bisakah Karakter Diubah
?
Ini
pertanyaan yang sulit. Jika karakter diartikan sebagaimana bahasa aslinya,
yakni charassein, tentu saja sangat
sulit diubah. Karakter orang pemberani akan sulit diubah menjadi penakut atau
pengecut. Demikian juga karakter lembut akan sulit berubah menjadi kasar.
Namun,
jika menilik bahwa karakter bisa dibangun atau dibentuk, ia pasti bisa diubah.
Sebab, pembangun dan pembentukan itu sendiri sejatinya adalah perubahan. Hanya
saja, jika bangunan itu adalah bangunan yang kokoh, butuh waktu lama dan energy
yang tidak sedikit untuk mengubahnya. Berbeda dengan pembangunan tidak permanen
yang menggunakan bahan-bahan rapuh, maka mengubahnya pun akan lebih cepat dan
mudah. Tetapi, karakter bukanlah sesuatu yang mudah diubah. Sebab, secara
bahasa saja, karakter sudah memiliki makna “sulit diubah”. Jika sesuatu itu
mudah diubah, ia bukanlah karakter. Mungkin saja ia hanyalah sifat, sikap,
pandangan, pendapat, atau pendirian.
Dengan
menyadari bahwa karakter adalah sesuatu yang sangat sulit diubah, maka tidak
ada pilihan lain bagi orang tua kecuali membentuk karakter anak sejak usia
dini. Jangan sampai orang tua kedahuluan oleh yang lain, lingkungan misalnya.
Ini sangat berbahaya. Orang tua akan menjadi pihak pertama yang kecewa jika
karakter yang dibentuk orang lain itu ternyata adalah karakter yang buruk.
Sementara, mengubahanya setelah karakter terbentuk merupakan sebuah pekerjaan
yang tidak ringan. Butuh terapi panjang. Butuh konsistensi. Butuh biaya. Butuh
waktu, pikiran, serta energi yang sangat banyak.
Cukupkah Membentuk
Karakter dengan Perintah dan Larangan ?
Sebagian
orang tua merasa cukup dengan menerapkan perintah dan larangan yang ketat untuk
membentuk karakter anak. Dengan perintah dan larangan yang banyak dan sering,
lama-lama seorang anak akan terbiasa dengannya dan terbentuk karakternya.
Inilah anggapan yang paling umum diyakini oleh para orang tua. Akibatnya,
hari-hari mereka di rumah dipenuhi dengan perselisihan dengan anak. Sebab
ternyata, anak tak kunjung mengerti kemauan orang tuanya.
Perlu
dimengerti bahawa perintah dan larangan adalah bagian yang sangat kecil dalam
upaya pembentukan karakter. Perintah dan larangan hanya bantuan sederhana dalam
menolong anak untuk melakukan kebaikan dan menghindari kesalahan. Hal pertama
yang paling penting sesungguhnya adalah menanamkan kesadaran kepada anak
tentang pentingnya sebuah kebaikan. Sebagai contoh kecil, anak perlu tahu
mengapa ia harus membuang sampah di tempatnya. Anak juga perlu tahu mengapa ia
harus membenci perilaku malas membuang sampah sembarangan. Anak juga harus
sadar dan paham akan hal ini, jika orang tua ingin menanamkan membuang sampah
pada tempatnya ini sebagai karakter anak.
Setelah
proses penyadaran dan pemahaman berjalan, anak dibimbing untuk melakukannya
dalam tindakan nyata. Harus tertanam dalam diri anak bahwa setiap kebaikan yang
ia ketahui tidak aka nada nilainya di hadapan Alloh dan manusia jika tidak
diwujudkan dalam tindakan nyata, orang tua harus segera mengambil langkah utnuk
segera memberikan pertolongan dan dukungan kepada anak untuk mewujudkannya.
Bentuk pertolongan yang dimaksdu adalah meneladankan kebaikan-kebaikan
tersebut.
Kesulitan
yang biasa dihadapi oleh anak-anak adalah menerjemahkan konsep kebaikan yang
abstrak ke dalam tindakan. Misalnya, seorang anak diberi pengertian oleh orang
tuanya bahwa ia harus menghormati setiap orang, baik temannya sendiri atau
teman orang tuanya. Sikap hormat di mata anak adalah sesuatu yang sangat abstrak,
bahkan bagi kita yang sudah dewasa sekalipun.
Konsep
abstrak ini harus dikonkretkan terlebih dahulu agar bisa diaplikasikan dalam
kehidupan. Anak harus diajari tentang bagaimana wujud penghormatan kepada teman
sebaya, tamu, tetangga, dan kepada setiap orang ketika ia berpapasan di
halaman. Demikian juga dengn cara-cara menghormati orang lain di sekolah atau
di tempat bermain. Susunlah cara-cara konkret itu dan latihankanlah kepada anak
kita bicarakan hal ini secara lebih terperinci dalam bab-bab berikutnya.
Selain
memberikan pemahaman dan melatihkannya dalam bentuk tindakan, orang tua juga
harus menyiadakan waktu untuk mengintrospeksikan perilaku anak. Introspektif
ini penting, karena bisa saja terjadi situasi di mana anak harus membuat
keputusan atas hal baru yang belumdipahamkandan dilatihkan. Ini bisa disebabkan
oleh situasi eksternal maupun internal anak. Situasi eksternal biasanya berupa
keadaan yang betul-betul baru. Adapun situasi internal bisa berupa pengambilan
keputusan yang berbeda, yang dilakukan oleh anak karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Muhasabah
atau intropeksi akan menuntun kita untuk mereview setiap aktivitas yang telah
dilakukan anak selama seharian. Berapa kegiatan yang merupakan perilaku baik
dan beberapa aktivitas yang merupakan perilaku buruk? Adakah
keputusan-keputusan baru yang di ambil oleh anak, dan apakah hal itu merupakan
bentuk kebaikan atau keburukan? Hasil dari muhasabah ini akan menjadi pemahaman
yang baru bagi anak. Dengan pemahaman baru yang dimilikinya, anak akan
melakukan tindakan-tindakan berikutnya. Dari sinilah makna penting sebuah
musahabah yang berfungsi untuk merefleksikan amalan atau tindakan anak dalam
keseharian. Sedemikian penting makna muhasabah ini, sehingga tokoh besar
seperti Umar Bin Khattab R.A berhikmat, “ Haasibuuu qabla an tuhaasabuu” yang
artinya “hisab dirimu sebelum engkau dihisab”. Maksudnya, hitung atau
evaluasilah amalanmu sebelum amalan itu dihisab kelak di Yaumul Hisab (Hari
Perhitungan).
Bekal Minal Yang Harus
Disiapkan Oleh Orang Tua
Man
Yazra,’ yahshud. ‘Siapa menanam, pasti mengetam’. Inilah yang harus kita
pegang. Kalau kita ingin mendapatkan sesuatu, harus ada upaya yang kita lakukan
untuk memperoleh. Jangan sampai kita membiarkan diri kita hanya dipenuhi dengan
angan-angan dan keinginan. Jangan sampai membiarkan diri untuk tidak
mendapatkan apa-apa dari yang kita impikan tersebut. Itu adalah tindakan bodoh.
Sebab, alam raya ini diciptakan Alloh untuk kita demi kelangsungan hidup kita.
Tinggal bagaimana kita melakuakn upaya agar alam memberikan dukungan kepada
keinginan kita.
Impian
yang kuat adalah moral utama. Namun tindakan yang nyata adalah penentu
keberhasilan. Orang tua yang ingin anaknya memilki karakter baik harus
melakukan upaya-upaya untuk menuju kesana. Ia harus menyediakan waktu, energi,
pikiran, bahkan mungkin materi untuk mewujudkan. Evaluasilah, sudah berapa jam
waktu yang Anda luangkan untuk mendidik anak dirumah? Sudah berapa banyak
energy dan kepedulian yang Anda berikan berikan setiap harinya? Bersediakah
Anda “ diganggu” anak ketika sore hari dalam kondisi lelah sepulang kerja?
Seberapa jauh Anda mengelola waktu-waktu potensial seperti waktu magrib sampai
isya untuk melakukan pendidikan karakter? Sudah berapa dalam ilmu dan pemahaman
Anda mengenai pembangunan karakter positif anak? Berapakah jenis buku yang
berkaitan dengan pendidikan karakter yang sebuah And abaca dan miliki?
Ada
banyak pertanyaan yang bisa kita jadikan stimulant untuk mengungkapkan dan
menemukan jawaban seberapa banyak bekal yang sudah kita siapkan untuk memenuhi
sebuah keinginan berupa tumbuhnya karakter positif dalam diri anak-anak kita.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah beberapa di antaranya.
Saya
ingin saya ingin menegaskan disini bahwa bekal paling sederhana yang harus
segera Anda siapkan adalah waktu. Mungkin satu atau setengah jam setiap hari
untuk memberikan pemahaman, melatihkan, tindakan, dan melakukan muhasabah.
Tanpa persediaan waktu yang rutin setiap hari, kita akan sulit melembagakan
program pembimbingan kepada anak. Padahal, pelembagaan sanagt diperlukan disini
agar program bisa berjalan dengan sistematis, menjadi bagian dari irama hidup
masing-masing pribadi dalam keluarga. Inilah pentingnya penyediaan waktu.
Bekal
utama berikutnya adalah visi. Sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam
proses pembangunan karakter anak, orang tua harus memiliki visi yang jelas.
Karakter seperti apakah yang akan ditanamkan kepada anak-anak? Inilah
pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu untuk menemukan visi pendidikan
karakter pada orang tua. Jika visi ini sudah terbentuk, penentuan langkah
berikutnya menjadi lebih mudah. Sebab, sudah ada arah yang jelas untuk dituju.
Semua program dan kegiatan akan merujuk kesana.
Sifat-sifat
dasar yang orang tua inginkan agar tumbuh pada diri anak perlu dirumuskan
secara jelas. Kemudian, untuk mendukung terbentuknya sifat-sifat dasar ini,
harus ditentukan sifat-sifat positif yang berkaitan dengan sifat dasar yang
hendak dibangun. Sebab, banyak sifat dasar yang sesungguhnya dibangun oleh
beberapa sifat pendukung yang menjadi pilarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar