Senin, 07 Januari 2013

Artikel Golongan Jabariyah

BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN JABARIYAH
Aliran ini timbulnya di Khurasan, dipimpin oleh Jaham bin Shafwan[1]. Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan  golongan Jahamiyah.  Jaham bin shafwan ini sangat pintar berdakwah, sehingga banyak penduduk dan masyarakat Khurasan mengikuti ajarannya.
Jika kita lihat dalam sejarah perjuangan, dia bukan hanya semata-mata berkecimpung dalam menyebarkan fahamnya dalam bidang agama saja, tapi juga dia aktif dalam soal politik. Hal ini terbukti dimana dia menjadi sekretaris pribadi Al-Haris bin Syureib lawan dari golongan khalifah bani umayah di Khurasan, ternyata dia turut campur tangan dalam pemberontakan melawan bani umayah tersebut pada tahun 128 H (periode khalifah marwan II, tahun 127 H-132 H). dalam pemberontakan tersebut Jaham dan Al-Haris dapat ditawan, dan dihukum mati.
Prinsip-prinsip ajaran Jabariyah
Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran Qadariyah. Dengan kata lain, ajaran Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.
Kalau aliran Qadariyah mengajarkan bahwa semua takdir buruk dan baiknya adalah terletak pada aktivitas manusia itu sendiri. Sedangkan Alloh SWT tidak tururt campur dalam persoalan tersebut. Maka sebaliknya dengan aliran Jabariyah berpendapat bahwa : semua takdir terletak pada kekuasaan Alloh SWT secara mutlak, sedangkan manusia tidak berdaya upaya sama sekali. Artinya, semua usaha dan ikhtiar menusia itu tidak ada fungsi (non aktif).
Manusia disamakan dengan makhluk jumud (benda mati) seperti : buku, kayu, air, dan sebagainya. Kalau semua Allah SWT menghendaki benda-benda itu bergerak, maka barulah benda tersebut dapat bergerak dan seterusnya.
Kelanjutan dari pada ajaran ini, maka mereka berpendapat bahwa segala hal yang terjadi
pada diri manusia seperti hidup dan mati, sakit dan senang, pintar dan bodoh kaya dan miskin, adalah realisasi dari takdir Tuhan. Manusia hanya menunggu saja suratan takdir. Tidak ada gunanya sama sekali untuk merubah nasib yang malang itu, sebab mereka berpendirian segala aktivitas manusia itu sudah dinon aktifkan oleh Alloh SWT.
Untuk menguatkan faham mereka ini, mereka beralasan firman Alloh SWT
يمحواالله ما يشاء و يثبت (الرعد : 39)
Artinya : “Alloh itu menghapus dan menetapkan pula apa-apa yang dikehendakinya”(Qs. Ar-Ra’du : 39)
ولاينفعكم نمحس ان اردت ان انصح لكم ان كان الله يريدان يفويكم (هود : 34)
Artinya : “Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku, jika aku hendak memberi nasehat kepadamua, sekiranya Alloh hendak menyesatkan kamu” (Qs.Hud : 34)
ختم الله على قلوبهم و على سمعهم وعلى ابصارهم(البقرة : 7)
Artinya : “ Alloh telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup”. (Qs. Al-Baqarah : 7)
Mereka tidak memperhatikan ayat yang mnedorong supaya manusia berupaya unutk memperbaiki nasibnya :
ان الله لا يغير ما بقوم حتى يغير وا ما با نفسهم (الرعد : 11)
Artinya : “ Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan (nasib) suatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau berusaha) merubah keadaan yang ada pada (diri) mereka itu” (Qs. Ar-ra’d 11)
Sealin dari itu golongan Jabariyah ini tidak sesuai dengan aqidah islam yang sebenarnya, antara lain :

a.       Tentang sifat-sifat Alloh SWT
Mereka menolak sama sekali adaNya sifat-sifat Alloh SWT, yang tercantum dalam sifat-sifat 20. Alasan mereka, bahwa yang dinamakan Alloh SWT, itu hanyalah dzat yang mutlak. Sedangkan sifat adalah sesuatu yang berhubungan dengan makhluk. Justru itu kalau Alloh SWT mempunyai sifat, berarti samalah dengan makhluk.
Adapun mengenai ayat-ayat Al-Quran yang membuktikan tentang adaNya sifat-sifat Alloh SWT seperti : sama’, bashar. Kalam, dan lain sebagainya. Seperti tercantum dalam Al-Quran :
انه هواالسميع البصير (الاسرا : 1)                                    
Artinya : “ Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”. (Qs. Bani Israil : 1)
وكلم الله موس تكليما (النساء : 164)                             

Artinya : “Dan Alloh telah berfirman (berkata) kepada Musa dengan firman         Nya(langsung).” (Qs. An-nisa’ : 164)
Ayat-ayat yang seperti ini mereka takwilkan, karena untuk menghindari persamaan Alloh SWT dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk.
b.      Mengenai Al-quran
Sehubungan dengan pendapat mereka yang tidak mengakui sifat-sifat Alloh SWT, maka dengan sendirinya sifat kalam (berkata-kata) temasuk salah satu dari sifat sibaharu (makhluk). Oleh karena itu, mereka tidak mengakui pula sifat kalamullah atau Al-quran itu Qadim. Tapi adalah hadits (baharu)
c.       Mengenai ru’ya
Ru’ya atau melihat Allah SWT di akhirat nanti, menurut mereka suatu hal yang tidak mungkin adanya. Artinya, kita tidak dapat melihat wajah Alloh SWT walaupun di akhirat nanti. Alasan mereka demikian, bahwa setiap sesuatu yang dapat dilihat, sudah barang tentu ada arah dan materinya(benda yang dapat dilihat). Sedangkan Alloh Maha Suci dari sifat mengambill tempat dan berujud benda atau materi. Oleh karena itu, mereka membantah akan adanya melihat Alloh SWT diakhirat nanti, walaupun itu ada keterangannya dalam Al-quran.
d.      Mengenai fungsi surga dan neraka
Surga adalkah tempat ganajran bagi orang yang beramal kebajikan. Dan sebaliknya, neraka adalah tempat balasan bagi orang yang mengerjakan perbuatan dosa. Dan nantinya setelah orang-orang yang taat berada di surga telah merasakan kenikmatan surga tersebut, dan demikian juga bagi orang-orang yang berdosa yang berada dineraka telah merasakan pedihnya azab neraka tersebut, maka kedua tempat (surga dan neraka) itu akan dihilangkan atau dilenyapkan oleh Alloh SWT. Berarti menurut mereka fungsinya surag dan neraka itu sifatnya hanya sementara waktu saja.
e.       Kesimpulan dari ajaran jabariyah serta eksisnya.
Mereka sangat terikat dengan ayat-ayat Al-quran yang menegaskan bahwa makhluk ini tidak berdaya, terkecuali apa yang telah ditentukan oleh Alloh SWT. Akibatnya, timbullah sifat apatis (masa bodoh, tidak ada keinginan) untuk berusaha dan berikhtiar, kemalasan bekerja, putus asa dan menyerah diri tanpa ada perhitungan buruk baiknya. Jauh dari pada itu, akibatnya yang negatif ialah, su-uzhan (sangkaan yang jelek) terhadap Alloh SWT kalau mereka mengalami nasib yang buruk.
A.     ASAL USUL JABARIYAH
Selama periode pemerintahan Bani Umayyah , muncul diskusi dikalangan kaum muslimin mengenai apa yang disebut oleh kalangan modern barat sebagai permasalahan tentang kehendak bebas (free will) dan takdir (predestination) namun ketika diskusi ini dilaksanakan , istilah – istilah yang dipakai bermacam-macam.[2]
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam al-munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[3]  Kalau dikatakan , Allah SWT mempunyai sifat al-jabar (dalam bentuk mubalaghah ), itu artinya Allah Maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya , kata jabara (bentuk pertama) setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah) , memiliki arti suatu kelompok atau aliran(isme).  Lebih lanjut Syahrastani menegaskan bahwa paham al-jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyadarkannya kepada allah SWT. Dengan kata lain , manusia mengerjakan perbuatannya  dalam keadaan terpaksa.  Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh  qadha dan qadar tuhan. [4]
Dalam konteks geo-cultural bangsa Arab, faham Jabariyah diduga telah ada sejak sebelum Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir yang terjal dan gersang serta panas, telah memberi pengaruh besar bagi cara hidup mereka. Dalam du dalam kehidupan sehari-hari, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Dalam dunia seperti ini mereka tidak banyak melihat untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang timbul oleh suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal inilah yang membawa mereka bersikap fatalistic.

B.      MENGENAL TOKOH JABARIYAH
1.        Jahm bin Syofwan
Nama lengkapnya adalah Abu mahrus jahm bin shafwan (golongan jabariyah extrim). Ia berasal dari khurasan, bertempat tinggal di kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah(orator). Ia menjabat sebagai sekertaris haris bin surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan bani umayah di khurasan. Ia ditahan kemudian dibunuh secara politis  tanpa ada kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan jahm yang terbesar ke berbagai  tempat  seperti ke tirmidz dan balk. Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a.         manusia tidak mampu berbuat apa – apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Allah SWT, meniadakan sifat Allah SWT, dan melihat allah SWT di akherat.
b.         surga dan neraka  tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain allah SWT.
c.         iman adalah ma'rifat atau membenarkannya dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan    konsep iman yang diajukan oleh kaum murji'ah.
d.        kalam allah adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula dengan Allah SWT, Dia tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.

Dengan demikian ,dalam beberapa hal pendapat jahm hampir sama dengan murji'ah, mu'taziah, dan asy'ariyah.

2.        Ja'd bin Dirham
Ja'd ( golongan Jabariyah extrim) adalah seorang Maulana Bani Hakim, ia tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan didalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajarkan dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pemikiran – pemikirannya yang kontroversial, Bani Umayah kemudian memberhentikannya. Kemudian Ja'd  lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm serta menstransfer pemikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja'd secara umum sama dengan pemikiran Jahm. Al-ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a.         Al – Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu ia baru. Sesuatu yang baru tidak bisa disifatkan kepada Allah.
b.         Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara,melihat,dan mendengar.
c.         manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

3.        An – Najjar
nama lengkapnya adalah Husain Bin Muhammad An – Najjar (wafat 230 H). Ia adalah tokoh Jabariyah moderat. Jabariyah moderat mengatakan bahwa Allah SWT memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan jahat, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilh yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Allah SWT),tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan , tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Alah SWT. Sedangkan menurut An – Najjar, Allah SWT tidak dapat dilihat di akherat. Akan tetapi, An – Najjar menyatakan bahwa Allah SWT dapat saja memindahkan potensi hati (ma'rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Allah SWT.

4.        Adh – Dhirar
nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An – Najjar sehingga ia tergolong kaum Jabariyah moderat. Menurutnya manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya dan tidak semata – mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas Adh – Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersama – sama. Artinya, perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Allah SWT, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan – perbuatannya.
Mengenai melihat Allah SWT di akherat kelak, Adh-Dhirar mengatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat di akherat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad. Hadist Ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

C.     AYAT – AYAT JABARIYAH
terlepas dari ada tidaknya kondisi alam yang telah menjadikan orang Arab berfaham Jabariyah, Al-qur'an sendiri banyak memuat ayat – ayat yang dapat membawa timbulnya faham Jabariyah, seperti dalam ayat-ayat dibawah ini :

“padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
(QS. Ash-Shaffat :96)

“maka (yang sebenarnya) bukan kaum yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka,
An bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang – orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 17).

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. (QS. Al-Insan : 30)

Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang kepada alam pikir Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada dikalangan umat islam hingga kini walaupun  aliran Jabariyah sendiri eksistensinya sudah tidak ada.

Menurut faham Jabariyah ekstrim (Jahm dan Ja’d) perbuatan-perbuatan diciptakan Allah SWT dalam diri manusia, tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan Allah dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi atau kiasan; tak ubahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu gerak, matahari terbit, dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban , menerima pahala, dan menerima siksa.

Menurut faham Jabariyah ekstim ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksa atas dirinya. Misalnya kalau seorang mencuri, itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri tetapi timbul karena qadha dan qadar dari Allah. Allah-lah yang memaksa ia menjadi pencuri. Sedangkan menurut faham Jabariyah moderat (An-Najjar dan Adh-Dhirar) yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Allah, dan diperoleh pada hakikatnya oleh manusia. Inilah yang dinamakan dengan kasab.

Kasab merupakan faham jalan tengah antara faham jabariyah dan Qodariyah.

D.     IBRAH
Isu sentral dari diskursus dalam teologi islam klasik antara jabariyah dan Qodariyah adalah tentang perbuatan manusia. Disatu sisi jabariyah menyatakan bahwa perbuatan manusia berasal dari Allah SWT dan disisi yang lain qodariyah meyakini bahwa perbuatan manusia ditimbulkan dari diri manusia an sich. Titik temu dari dua aliran itu diungkapkan oleh para pengikut aliran jabariyah yang moderat, seperti An-Najjar, dan Adh-Dhirar melalui teori kasab(acquisition).
Jika ditarik dalam konteks kekinian, nampaknya teori kasab inilah yang memunculkan istilah ikhtiar (berusaha) dan tawakal (berserah diri). Manusia dapat berikhtiar semampunya untuk mendapatkan atau untuk melakukan sesuatu, namun manusia harus menyerahkan hasil kerja atau perbuatannya kepada Allah SWT (tawakal) karena Allah-lah yang menentukan hasil dari perbuatan manusia. Hal ini menjadi keyakinan umum bagi umat islam walaupun pada kenyataannya banyak juga umat islam yang tidak bisa menerima dengan hasil kerja yang tidak sesuai dengan keinginannya, itulah yang memunculkan penyakit stress pada manusia.
Dalam konteks yang lain, contoh teori kasab yang memunculkan istilah ikhtiar dan tawakal adalah sebagai berikut :  “ada dua laki-laki yang sama-sama memiliki penyakit jantung dan sama-sama berumur 56 tahun. Yang satu bernama Slamet, yang secara ekonomi terbilang kaya dan yang satunya lagi bernama Untung, yang secara ekonomi termasuk kategori miskin. Disaat yang bersamaan penyakit jantung mereka kambuh. Karena kaya, Slamet dirawat dirumah sakit yang besar yang memiliki fasilitas lengkap dengan dokter dan suster yan berkompeten. Untung yang tergolong miskin akhirnya hanya dapat dirawat dirumah sakit yang kecil,yang fasilitasnya kurang memadai dengan dokter dan suster yang belum berpengalaman. Namun yang terjadi, Slamet yang dirawat di rumah sakit berkelas mewah malah akhirnya meninggal dunia. Ssedangkan Untung yang dirawat di rumah sakit yang serba terbatas malah selamat.”
Secara rasional harusnya yang selamat adalah Slamet yang dirawat di rumah sakit berkelas, namun karena manusia hanya bisa berusaha dan yang menentukan hasilnya adalah Allah SWT, ternyata slamet meninggal dan yang tetap hidup adalah Untung. Itulah contoh aplikasi dari teori ikhtiar dan tawakal.
Selain memunculkan konsep tentang ikhtiar dan tawakkal, teori kasab nampaknya juga memunculkan term “insya Allah” yang berarti jika Allah menghendaki. Biasanya term “Insya Allah” tersebut sering diucapkan oleh umat islam ketika membuat sebuah janji. Memang masuk akal juga ketika kita membuat janji, misalnya janji itu mendatangi suatu acara dengan mengatakan “Insya Allah” karena kita tidak tahu apakah kita bisa memenuhinya atau tidak. Namun melihat kondisi sekarang, umat islam akhirnya malah menjadikan term “Insya Allah” sebagai pemanis kata, untuk mencari aman apabila tidak dapat memenuhi janji tersebut. Tentu ini mengundang kekecewaan dari orang yang diberi janji. Kekecewaan inilah yang memunculkan term baru, yaitu “insya An Nas” yang berarti jika manusia menghendaki.
Munculnya term “insya An Nas” sebagai wujud kekecewaan terhadap umat islam yang menjadikan term “insya Allah” sebagai pemanis kata pada dasarnya merupakan representasi dari spirit ajaran faham Qodariyah yang menyatakan bahwa segala perbuatan itu diciptakan oleh manusia itu sendiri. Akhirnya diskursus antara jabariyah dan qadariyah dengan isu sentral perbuatan manusia selalu menjadi diskursus menarik sepanjang masa.
Peran manusia dalam perbuatannya berkaitan erat dengan kemampuan atau daya yang dimilikinya. Daya yang dimiliki manusia itu memiliki dua kemungkunan, daya itu efektif atau daya itu tidak efektif. Sementara dalam pelaksanaan peran dan tugasnya, manusia dituntut aktif dan kreatif. Manusia dapat berbuat, berupaya, bekerja, mencipta dan sebagainya, hal ini merupakan konsekuensi logis dari sifat kekhalifahannya di bumi. Peran khalifah ini menyebabkan manusia mewujudkannya dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang nyata dan berwujud untuk perkembangan dunia.
Akhirnya, pandangan adanya persaingan antara Allah SWT dan manusia dalam menciptakan sebuah perbuatan hendaknya dihindarkan. Allah SWT menempatkan manusia pada posisi yang unik, yaitu khalifah dengan pemberian tugas yang disebut amanah. Pengangkatan manusia sebagai khalifah fil ardh bukan berarti mengurangi keagungan Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT mengutus Nabi, begitulah Allah SWT memberikan amanah kepada manusia. Manusia memiliki daya (qudrah), kemampuan (istitho’ah), dan anggota badan. Ia juga mempunyai kemampuan intelegensia, akal dan emosi sebagai hal logis yang diberikan Allah SWT pada manusia selaku subjek untuk mewujudkan perbuatannya.
Daya, kemampuan (akal dan hati), dan anggota badan diharapkan dapat dioptimalkan oleh manusia sebagai “tool of life” dan “tool to life” agar dunia ini jauh dari kecemasan seperti apa yang dikhawatirkan malaikat pra pencipta manusia sebagaimana tergambar dalam
QS. Al- Baqoroh :30.

Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”Tuhan berfirman : “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. “ (QS. Al-Baqoroh :30)

Berbagai kerusakan yang ada dimuka bumi ini serta peradaban emas yang telah menghiasi dunia ini adalah bukti bahwa dengan akal dan hati masa depan kita ini berada. Entah kemana akan dilangkahkan, disanalah masa depan kita berada. Berbagai pandangan yang ada, baik jabariyah maupun qodariyah hendaknya tidak melupakan aspek aksiologi keterciptaan manusia, yakni disamping untuk menyembahNya juga untuk mengelola dunianya.


DAFTAR PUSTAKA
Drs.Prof.Noor Matdawan, “ Akidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintasan Sejarah Dinamika Budaya Manusia”. Penerbit : Yayasan “ Bina Karier” LP5BIP yogyakarta 1990
Novan Ardy Wiyani, M.Pd.i, “Buku Pegangan Mata Kuliah Syudy Islam 11”, STKIP Islam Bumaiyu 2010



[1] Menurut Prof.Dr.Harun Nasution, sebenarnya orang yang mencetuskan faham ini adalah Al-Ja’d bin Birham, adapun Jaham bin Shafwan, orang yang gigih menyebarluaskan ajaran tersebut.
[2]W. Mongomery Watt, Studi...,hlm. 109.
[3]Ghufron, TermometerKebebasanManusia: Dialog CerdasBersamaQodariyahdanJabariyah, JurnalLentera, Vol. 14, No.8, Agustus 2009, hlm. 29.
[4]Abdul Ro Zak danRorihon Anwar, Ilmu…, hlm. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar